17 Januari 2013.
Dengan mata yang masih sayu, sesaat setelah bangun tidur siang.
Jam 17:20, jam dinding di kamarku menunjukkan waktu.
Astaga, hari ini kau benar malu-malu untuk tampakkan wujudmu. Hanya sesaat tiba, kemudian hilang lagi tergantikan tamu lain.
Biasanya kamu selalu tanpa malu bangunkan diriku. Di pagi hari kau biasanya menyelinap diam-diam memberi pelukan hangat untuk menyadarkan aku memulai kehidupan. Memberi awal sebuah senyuman sembari menarik selimut kantuk yang melingkupi diri sedari netra ini menutup, memberi istirahat nyaman hingga kau datang untuk kembali lagi hadir temani hidup di hadapku.
Hari ini kamu malu-malu datang kepadaku. Biasa tanpa mengetuk kau sudah hadir di ruang kamarku, dan dengan lembut, menjalari tubuh dengan kehangatan sentuhan-sentuhan lembutmu. Kau selalu datang tanpa menyentuh, hanya mengelus, untuk berikan aku awal yang nyaman, awal yang indah, untuk memulai hari dengan lengkung bibir pertanda senyum, senyum di wajah, dan juga di hati.
Hari ini, sepertinya kamu pergi sebentar tak menyapa. Hingga aku harus terlalu larut untuk tenggelam dalam kenyamanan singgasana mimpi. Dingin yang menjalar di ujung kaki menggantikan hangat dirimu yang biasa sapa pagiku, paksa aku semakin menarik selimut, meringkukkan badan untuk melanjutkan mimpi tidurku. Hari ini kau tergantikan miliaran kubik air, yang turun dari langit, bersama payung awan mendung yang sedari malam sudah jarah tempatmu di atas bumiku.
Kemana dirimu ? Memang, di saat seperti ini aku selalu merindukanmu. Di saat dingin tak dapat lagi menjadi karib. Di saat hujan semakin menjadi, hadiahkan genangan tak terperi yang orang-orang sebut banjir. Kemana dirimu ? Apakah kau sedang tak ada di tempat, hingga harus berikan langit sendu untuk gantikan dirimu ?
Wahai dirimu. Di sore ini aku benar-benar rindu terhadapmu. Setelah aku memperhatikan beragam peristiwa semi-pilu yang menghantam negeriku. Di saat pengganti dirimu lumpuhkan jantung negaraku. Di waktu hujan bersama kabut abu-abu dengan perkasa mengirimkan bertriliun-triliun tetes air menggenangi Ibu pertiwi.
Indonesia mengalami musim hujan. Jakarta tenggelam!
Hai kamu, setidaknya cepatlah kembali dari rantaumu! Memang belum waktumu menggantikan si awan mendung bersama pasukan airnya. Tapi, setidaknya datanglah kamu hampiri kami, memberikan busur warna-warni Tuhan terlukis di atas langit biru sehabis guyuran hujan. Aku butuh kamu untuk berikan lengkungan pelangi yang bisa memberikan anastesi untuk hati kami yang sedang cedera karena menghadapi bencana banjir ini.
Hai kamu, yang sedari tadi pagi pergi. Datanglah sesegera mungkin. Bulan ke-5 adalah jadwalmu memang. Bila dirimu tak mau untuk melanggar jadwal, sampaikanlah suatu pesan dari ku kepada sahabatmu. Bisikkan kepadanya agar menurunkan hujan sepantasnya. Kami butuh air secukupnya, tak usah berlebih. Beritahukan ini kepada teman mendungmu itu.
Hai kamu. Kami merindukanmu. Merindukan sentuhan hangatmu. Merindukanmu, yang selalu datang sebagai penyemangat pagi. Pemberi warna emas, langit biru, dan awan putih bagi seisi bumi.
Hai kamu.
Ini untukmu, Matahari.
Dengan hormat,
sembari berharap dingin ini segera terlepas dari ujung kaki
SC
No comments:
Post a Comment