Pages

Sunday, August 25, 2013

Kepulangan

Kesempatan kedua yang telah ada seharusnya dikejar dan dijalankan sebaik mungkin, apapun itu resikonya. Ketika pintu kesempatan itu kembali datang menyambangi untuk menebus kesalahanmu di masa lalu. Come, knock, and get inside.
Aku rasa cinta seperti itu. Ketika kau terlepas dari genggaman perasaanmu akibat tarikan suatu kenyataan, tetapi semesta menghujamkanmu kembali kepada fakta bahwa kau harus bertemu kembali. Kau harus berani berlari menghampiri kebenaran itu, walau rintang dan halang yang menyambut, semua harus kau lompati, semata - mata untuk penebusan kekalahan masa lampau dan bukti kekuatanmu untuk berdiri memperjuangkan satu cinta.

Aku... Cassandra... Alexis.

***

2 letupan Revolver terdengar. Keras, lalu menghilang perlahan, dan kemudian senyap kembali menyelimuti 12th Street.
Cassandra terhempas dan kemudian tangis mengalir dari matanya. Apa memang harus seperti ini akhiran dari kisah ini? haruskah terasa sangat menyakitkan?

Aku? Aku tak tahu apakah saat ini aku bisa menyambut kenyataan yang selama beberapa hari ini aku kejar atau aku harus rela untuk terguncang mendapati kepelikan dari ending perseteruan cinta terselubung nan rumit ini.
Tapi yang jelas! Lemparan pandanganku menatap Cassandra yang sangat rapuh.

***

Aku terus mencoba untuk berdiri kuat pada sepasang kakiku.

"Sir!," ucap seseorang yang terlihat samar keluar dari balik selimut malam. Sosok tersebut perlahan muncul dengan gelagat mengacungkan pistol ke tempat Alexis dan Cassandra berada.

"Yes," balasku kepada seseorang yang kini telah melangkah makin mendekat dan sosoknya sudah jelas terlihat. 
Jangan kalian kira itu Cindy, dia terlalu anggun untuk menodongkan pistol dengan gaya seperti yang aku pandang pada sosok ini. Jangan pikir juga itu Romeo, pemuda civil itu tentu belum cukup punya keberanian untuk menembakkan revolver. Lisandro? Jelas manusia yang nampak di hadapanku ini bukan Belucci's yang tadi mengantarkanku sampai di seberang gang.

"You okay, Sir?," tanya sosok tersebut masih dengan mengarahkan pistolnya mantap sambil tetap berjalan mendekat.
"Yes, Don. I'm fine Don Belucci," aku menjawab kepada pria berperawakan besar, mengenakan fedora, diselimuti oleh mantel coklat panjang. Aku mendapati seorang pimpinan Belucci's yang serta - merta muncul di belakang tempat Cassandra dan Alexis berdiri, lalu menembakkan .38nya kepada Alexis.

Aku mendekat menghampiri Cassandra, melepaskan ikatan tangannya, menyingkirkan kain yang membekap mulutnya, diakhiri dengan pelukan yang membuat dirinya aman, dan diriku tenang kembali pada kenyataan.
Di sampingku, Belucci memegang leher Alexis yang telah terkapar, dia memeriksa nadinya, dan kemudian menggeleng. Aku dapati 2 lubang peluru terbentuk di punggung dan bahu Alexis, entah peluru itu mengenai jantung Alexis atau tidak.

"Take care my daughter, Sir! and you have to leave from York, now! This is the tickets for both of you," kata Don Belucci tepat setelah dia menggeleng dan mendapati bahwa pimpinan keluarga Lazzaro's telah dia habisi. "Mob war will begin this morning! Leave now!," lanjut ayah tiri Cassandra ini menjelaskan bahwa perang Mafia Famiglia akan meletus setelah para Lazzaro's menyadari bahwa pimpinan mereka telah ditembak mati oleh La Famiglia lainnya.

Aku mengambil 2 tiket di tangan Belucci, dan mengangguk. "Grazie, Don," aku mengucap terima kasih, sembari membantu Cassandra berdiri yang sedari tadi masih menangis dan sangat terguncang. "I'm sorry for this, Sir,".
"Just take care my daughter!," ucap Belucci serius.

Aku menjabat tangan boss mafia yang sudah menyelamatkanku dari Alexis, Belucci memeluk Cassandra erat mencoba untuk memberi putri tirinya kekuatan.

***

Britannia Raya.

Aku dan Cassandra mengikuti permintaan Belucci. Aku kembali ke tempat asalku bersamanya, wanita tercintaku yang sempat hilang akibat kelemahanku, kini kembali mendampingiku melewati berbagai kenyataan di depan.

Selama perjalanan, aku hanya menggenggam tangan Cassandra. Mencoba untuk saling menguatkan dan meyakinkan. Aku menguatkan dia atas tragedi 12th Street, dan Cassandra terus berusaha dalam diam meyakinkan aku untuk melepas segala rasa bersalah kenangan Ekspedisi Pedro Cabral.

Kami berdua pun kini berada disini. Di depan rumah berwarna putih, pagar mini dilengkapi gapura kecil yang berada di muka rumah. Aku berjalan beriringan mendapati pintu masuk rumah ini dan mencari kunci yang berada pada mantelku.

Kepulangan ini menjadi hal yang berarti atas kehilangan yang lalu.
Kisah dari Cinderella Glass yang mengawali. Lalu St Clara, Clairea, Momma's Rest, dan La Cognac's yang menjadi tempat dari berbagai macam cerita. Romeo dan Lisandro yang berperan sebagai cameo. Hubungan Cassandra, Cindy, dan Belucci. Sampai berujung pada peristiwa kepergian Alexis bersama nafsu cintanya yang membutakan di 12th Street.
Semua kenangan York sepintas muncul kembali dalam benakku.

Aku memasukkan anak kunci ke dalam lubangnya, memutar kunci, dan membuka pintu rumah ini.

Ini bukan mimpi yang sudah pernah aku lewati. Ini kenyataan yang akan kembali dimulai.

Aku dan Cassandra. 
Pulang dari segala perjalanan masa lalu yang dikuasai oleh kehampaan, dan akan memulai kembali kenyataan baru yang akan kami isi berdua dengan cinta, kebahagiaan, dan PETUALANGAN.

Yeah! Kami berdua akan kembali mencari ancient things. Sesegera mungkin setelah kami pulih dari segala guncangan "pertemuan" kami ini.

Welcome back life, Welcome back love.

***

Mob wars meletus di Little Italy. Belucci's dan Lazzaro's saling meletupkan timah panas.

Saturday, August 24, 2013

Permintaan Terakhir

Alley ini sebenarnya tidak terlalu panjang, tapi entah langkah kakiku terasa sangat perlahan dan memberatkan. Sisi - sisi gang ini seperti makin menyempit, langit malam pun seakan ingin menghilang temaram rembulan dengan menyembunyikannya di balik awan - awan pucat. 12th street semakin dekat, aliran darah dari kepala ke kakiku semakin deras, dan denyut jantungku serta tarikan nafasku entah semakin tak karuan. Aku tak takut, hanya bersiap untuk menghadapi segala akhir dari segala pencarian yang sebentar lagi akan ditampilkan.

Ujung gang sudah terlihat jelas di mataku, tak sampai sepelempar batu jauhnya plang jalan bertuliskan 12th Street berada di depanku. Apa yang sudah menantiku? Atau apa yang akan aku hadapi di simpang gang ini.

12th Street.

Aku menengok ke kanan dan ke arah sebaliknya. Tak ada suatu apapun, hanya tiang - tiang lampu jalan yang menghampar dari sudut tak terlihat di seberang sana hingga ke ujung lainnya yang berlawanan, barisan - barisan gedung yang hampir sebagian besar sudah mematikan lampu penerangan, dan...

***

Aku menghentikan pengamatanku. Dari balik gedung nomor 3 di kananku terlihat sepasang siluet. Satu bayangan dengan lady gown serta didampingi dengan bayangan yang terlihat memakai setelan tux beserta fedora yang menghiasi.

"Halo, Sir. Que estas haciendo?," tanya satu sosok di balik gedung nomor 3 disertai dengan tepuk tangan.
"Me conoces Alexis. I'm always fine!,"

Aku menyiagakan perhatianku terhadap bayangan siluet tersebut. Jelas siluet berstelan jas tersebut adalah Alexis, dan dengan penuh keyakinan pasti sesosok lainnya adalah Cassandra. Bayangan tersebut terlihat seperti Alexis menahan Cassandra dengan tangan yang terikat ke belakang.
"Baguslah! Apa yang membawamu kemari, Sir? Kenapa kau tidak datang ke La Cognac's?," tanyanya kembali dengan sedikit tawa sinis.
"Oh come on Alexis. Be gentle. Jangan bersembunyi!,"

Mendengar hal itu siluet tersebut mulai melangkah. Dua bayangan itu mulai keluar dan menampakkan siapa sosok aslinya. Diawali dengan Cassandra yang muncul di depan setelah didorong dengan kasar oleh Alexis.

"Hei! Don't push the lady!," geramku ketika sosok Alexis keluar dengan memegang ikatan tangan Cassandra.
"Hei Sir!," sapa Alexis yang kini terlihat memuakkan bagiku.

Kedua orang di hadapanku ini terlihat di mataku. Mereka berdiri tepat di bawah sinar lampu jalanan di sisi kananku. Tak jauh jarak yang terbentuk antara aku dan mereka, hanya berjarak 3 gedung.
Cassandra nampak ketakutan dan Alexis yang ada di sampingnya terlihat sangat menikmati peran antagonisnya terhadap tunanganku.

Aku mencoba mengontrol emosi, berpikir untuk membuat suatu negosiasi yang tidak membahayakan Cassandra.

"You know Sir. I love your fiance! And you have to let her for me," teriak Alexis membuyarkan ketenanganku.

Aku memicingkan mata mencoba untuk terus melihat gelagat yang dilakukan Alexis terhadap Cassandra.

Maniac! makiku dalam hati. "You drunk, Don," ujarku mencoba untuk tetap menguasai keadaan sembari melangkah perlahan mendekat.

***

Aku mendekatkan diri selangkah demi selangkah. Satu gedung sudah kulewati sambil tetap berdiskusi dengan Alexis yang terlihat hilang kontrol atas dirinya sendiri.

"Stop there, Pendejo. Don't move again!,"

Aku tak mengindahkan ucapan Alexis, aku terus melaju perlahan untuk memangkas jarak yang ada.

"Stop or I'll shoot her!!!," tegas Alexis dengan mengeluarkan .38 Special ditodongkan di kepala Cassandra.
"A'ight. I'm stop, Don!," pekikku ketika mendapati ancaman Alexis diikuti 2 langkah ke belakang.

Alexis sudah tak bisa diajak berdiskusi. Dia sudah kehilangan kesadarannya dan dikuasai oleh nafsu serta emosi. Aku membutuhkan bantuan untuk melepaskan Cassandra dari Alexis. Aku tak bisa melangkah lebih jauh lagi, keamanan Cassandra berada dalam titik terendah.

"Apa yang kau mau, Don?! Apa yang kau minta?!," teriakku lantang mencoba mencari tahu.
"Apa yang aku minta?," Alexis balas bertanya kepadaku. "I want you to leave and let Cassandra for me! Itu yang aku mau!,"

"Aku mencintai Cassandra, Downey!...,"
 Alexis berbicara panjang lebar mengenai perasaan yang dia rasakan kepada Cassandra. Dia menceritakan seluruhnya, hingga Pedro Cabral. Ia mengingatkan tentang genggamanku yang terlepas untuk menyelamatkan Cassandra hingga akhirnya dia hilang di tengah lautan. Lalu dia jelaskan bahwa ternyata Cassandra masih hidup dan kini tinggal dalam perawatan Belucci's.
Dia tak bisa menyatakan perasaannya terhadap Cassandra, karena Cassandra selalu membawa namaku di dalam setiap obrolan mereka. Hingga akhirnya aku datang ke York, dan terjadilah peristiwa beberapa hari belakangan ini.

"... Apa sudah jelas semuanya, Sir? Kau tidak pantas untuk Cassandra," Alexis menutup penjelasannya.
"I'm sorry for everything, but I love Cassandra more than you, Alexis!," balasku dengan keras menyaingi segala kalimatnya yang mencoba memojokkanku.

Alexis tetap dalam kekukuhannya.

"Ada permintaan terakhir, Sir?," kata Alexis dengan tatapan dingin mengarahkan revolvernya kepadaku. "Aku harus membunuhmu sepertinya untuk mendapatkan Cassandra seutuhnya," lanjutnya dengan sinis.
"Aku...,"

***

*Dor... Dor* 2 letupan senjata terdengar.

Cassandra menangis.

***

Aku menjawab pertanyaan Alexis mengenai permintaan terakhir.
Aku hanya meminta Cassandra kembali bersamaku. Tanpa dia harus menangis seperti ini.

Di Angka Dua Belas

12 : 00 PM. 12th Street, York. Lazzaro's
Ps : Please find me. I Love you

Tulisan waktu, tempat, siapa, dan sebuah kalimat yang menyatakan pesan tertulis di balik foto Mrs. Janie. Foto ibunda dari Cassandra, begitu juga Cindy. Mereka saudara tiri, dan bertemu atas pencarian tanpa lelah Cassandra untuk menemukan Mrs. Janie, ibundanya yang sangat dia cintai.
Aku masih tetap berada di dalam Clairea. Aku kembali memesan Marthen dan menenggaknya dengan perlahan.

Tidak lama berselang aku berdiri dari bar stool dan melangkahkan kaki keluar bar. Cindy tak ada di lobby hotel St Clara ini, begitu juga informannya yaitu Romeo.

Aku kembali mengingat - ingat ucapan Cindy yang menyuruhku untuk tidak mengindahkan permintaan Alexis melalui telepon di Momma's rest beberapa jam yang lalu. Membuatku bertanya - tanya, Kenapa aku tidak boleh untuk datang ke La Cognac's? Ada apa disana sampai Cindy melarangku? Apa yang dipersiapkan Alexis sebenarnya?

"Sir!," suara seseorang terdengar dari arah tangga menuju ruangan kamar tamu hotel berada.
"Romeo,"
"Pardon me, Sir. Aku hanya memohon kepadamu untuk mendengarkan anjuran dari Lady Cindy perihal larangannya kepadamu untuk tidak perlu datang ke La Cognac's,"
"Kenapa?," tanyaku penasaran.
"Don Alexis, Sir!,"
"Ada apa dengan dia?,"
"Dia telah menyuruh beberapa Lazzaro's untuk menyerangmu disana," jawab Romeo dengan nada takut - takut.

Aku mengeryitkan dahi, sedang Romeo terus memberikan penjelasan yang dia ketahui dari Alexis. Ia menceritakan bahwa sebenarnya Momma's Rest adalah perhentian terakhirku. Alexis menyuruh seorang anak buahnya untuk menghabisiku disana, Tetapi karena kedatangan Cindy yang tiba - tiba, semua rencana berubah. Dan sepertinya Alexis sadar bahwa rencana yang dari awal dia susun ternyata berantakan dan segala muslihatnya dibeberkan kepadaku oleh Cindy.

Masalah yang sangat pelik ini tak bisa diduga. Aku mengeluarkan cangklongku, membakarnya, dan mencoba untuk tenang. Aku sadar bahwa kepanikan dan emosi yang tak terkontrol akan membuahkan ketidakhati - hatianku terhadap problema ini.

"Thank you, Romeo," jawabku berterimakasih membalas semua informasi yang aku dapati darinya.
"Anytime, Sir,".

***

Waktu terasa berputar sangat lambat. Satu siang sampai petang, hingga akhirnya malam aku habiskan di St Clara
Cindy membawaku ke dalam kamar Cassandra, dan membiarkanku untuk beristirahat disana. Aku sempat tertidur pulas dan memimpikan cerita yang hampir sama ketika aku "tidur" dipengaruhi cognac campuran pil tidur a la Cindy. 
Aku ada di depan sebuah rumah putih, aku mengenali rumah tersebut, kemudian aku menghampiri pintu depan dan mengetuknya, dan selang tak berapa lama Cassandra membuka pintu lalu memelukku dengan erat. Mimpi yang terasa sangat indah untukku.

***
11 : 00 PM

Aku kini sudah berada di salah satu mobil Belucci's. Entah apa yang aku harus pikirkan, berhati - hatikah terhadap La Famiglia de Mafia ini, atau fokus terhadap apa yang akan menyambutku di 12th Street pukul 12 nanti.

"What's your name, pal?," tanyaku kepada sang pengemudi di sampingku, mencoba memecah keheningan yang ada.
"Lisandro, Sir," jawabnya kaku.
"Ehm... Baiklah. Salam kenal Lisandro. Terima kasih sudah mau mengantarkanku," aku kikuk.
"Piacere mio, Sir," balasnya dengan nada yang lebih santai dari sebelumnya.

Aku terus mencoba untuk membuat suatu pembicaraan dengan salah satu Belucci's ini. Dan tak dinyana, pikiranku mengenai jahatnya La Famiglia di Little Italy ini salah besar. Mereka tak sejahat yang aku kira.

"Lisandro, apakah kau tadi pergi ke La Cognac's?," Selidikku kepadanya untuk mencari tahu apakah benar yang dinyatakan Romeo tadi siang kepadaku di lobby St Clara.
"Yes, Sir. Lady menyuruh beberapa dari kami untuk kesana. Disana kami melihat beberapa Smith terparkir di muka bar, dan seperti kami duga gerombolan black tux Lazzaro's berada di dalam sana,"

Aku mengangguk mendengarkan. Seingin itu ternyata Alexis ingin mencelakaiku untuk mengambil Cassandra. Dia yang memainkan permainan bodohnya hanya untuk mendapat pengakuanku melepas Cassandra, kini semakin tak tahu diri.

One thing! Kau salah memainkan permainan ini kepadaku, Don. Bukan dengan cara halus dan serangan psikis yang akan membuatku melepas kekasih tercintaku untuk kedua kalinya, bahkan bukan dengan cara kasar dan serangan Lazzaro's Famiglia kau bisa merebutnya dariku.

***

"Kita sampai, Sir," ujar Lisandro tepat ketika kami berhenti di depan suatu alley. "Saya hanya bisa mengantarkanmu disini, 12th Street ada di seberang gang ini, Sir,".
"Kenapa harus disini?," tanyaku heran mendapati perhentian.
"Tenang Sir. Turunlah disini dan aku akan menjagamu dari satu sisi yang tak terlihat oleh Don Lazzaro," balas Lisandro mencoba untuk menenangkanku.

Aku turun dari mobil dan mengambil arloji emas kesayanganku. 11 : 50 PM.
Mobil Lisandro sudah melaju dan menghilang di kelokan, sementara aku kini berdiri sendiri menghadapi satu alley, yang akan menghadapkanku pada pertemuan kembali dengan Cassandra, dan juga benturan kenyataan dengan Alexis.

Aku mengeluarkan foto Mrs. Janie dan membaca kembali tulisan di balik foto tersebut.

Tepat 10 menit lagi. Di angka dua belas.

12 : 00 PM. 12th Street, York. Lazzaro's
Ps : Please find me. I Love you
  
Aku memulai satu langkah masuk ke dalam alley.

Friday, August 23, 2013

Potret Ibunda

Warna coklat di setiap sisi ruangan, meja bulat yang tersusun rapi, dan bendera Italy ukuran kecil yang menggantung di tiang - tiang penyangga. Ya, Clairea.
Aku sudah berada di counter bar dengan Reims Marthen di hadapan, beserta wanita cantik di sampingku dengan red winenya. De Javu 2 hari lalu yang sengaja kembali diputar kembali.

"Tenang, Sir. Cognac itu murni seperti kesukaanmu. The pure marthen without sleeping pill," kata dia dengan mengedipkan mata.

Aku meminum alkohol favoritku ini dengan harapan, segala kebingungan yang menggelantung di pikiran ikut tertenggak dan semuanya segera terungkap.

"Jadi...," ucapku setelah menaruh sloki di atas counter bar, "Apa yang perlu aku tahu?," kini aku menatap wajah Cindy dalam - dalam.

Cindy balas menatap tanpa lupa menyertai lekukan senyuman khasnya. Cindy membuka tas kecilnya dan mengeluarkan selembar foto. Gambar seorang perempuan yang aku kenali.

Tapi bukan Cassandra.

***

Wanita itu cantik. Senyuman yang tercetak di parasnya pun terasa sangat teduh, kedewasaan seorang wanita, dengan sentuhan kasih sayang seorang ibu yang tergores di garis - garis muka.

"Ini foto Mrs. Janie, she's Cassandra's mom. So what?," tanyaku yang serta merta mengenali muka wanita di foto tersebut.
"Ya, kau benar, Sir. Ini ibunya Cassandra...,"
"And? The point?,"
"Dia...," kalimat  Cindy tertahan. Dia menarik nafas sesaat, "Janie is my mom, too,".

Aku tersentak dan kontan Cindy tersenyum menanggapi kekagetanku.
Cindy dengan perlahan menjelaskan semua hal mengenai hubungannya dengan Cassandra. Mereka mempunyai hubungan saudara, karena dilahirkan oleh satu ibu. Tetapi Ayah Cassandra adalah seorang arkeolog pencinta Mesir yang senang sekali berpetualang, tidak heran sifat putrinya sama dengan ayahnya, pencinta sejarah, budaya, dan artefak beserta kawan - kawannnya. Tetapi karena Mrs. Janie tidak sanggup meladeni kefanatikan suaminya akan hobinya, mereka berpisah. 
Di saat itu, Mrs Janie pergi ke York, bertemu dengan Don Belucci dan kembali menikah. Hingga lahirlah Cindy.

"Cassandra tidak pernah bercerita tentangku kepadamu, Sir," lanjut Cindy saat mengisahkan hubungannya dengan Cassandra. "Tetapi dia sangat mencintaimu, Sir. Itu yang selalu dia ucapkan di saat kami sedang bersama," lanjutnya lagi.

Otakku kembali dialiri dengan berbagai kenyataan yang terus menerus mengejutkan.

"Oh iya...," kembali lagi Cindy mengejutkanku dengan mengeluarkan 1000 grands dari dalam tas kecilnya. "Ini hutangku atas sepatu kaca yang kau menangkan kemarin. Asal kau tahu, sepatu kaca itu hanya alasanku untuk dapat mengajakmu kesini. Ke tempat dimana Cassandra bisa menatapmu dari jauh," Cindy mengarahkan telunjuk ke arah pintu bar.
"Kenapa harus dari jauh? Dan kenapa kau sampai harus menidurkanku?,"
"Lazzaro... Alexis Lazzaro,". jawabnya.

Alexis? tanyaku dalam hati dengan keheranan.

Cindy menangkap kebingunganku, dia menghela nafasnya dan mulai kembali menceritakan hal yang sontak mengagetkanku.

"Alexis mencintai Cassandra. Dia mengingininya dengan sangat. Dan satu hal yang dia mau, engkau harus merelakan Cassandra untuknya...,"

Cindy terus melanjutkan. Kalimat demi kalimat menjelaskan bahwa ternyata Alexis memang sengaja mengatur ini semua, agar aku merasa bersalah akan peristiwa Pedro Cabral. Selanjutnya dia akan menset pikiranku untuk merelakan Cassandra pergi, dan pada akhirnya dia akan mendekati tunanganku itu dengan mudah tanpa harus memperdulikan aku. That's sucks!.

"Apa benar itu semua?," aku memburu dengan sedikit kegeraman.
"Untuk apa aku berbicara bohong? Aku menidurkanmu pun agar Alexis fokus kepadamu dan sedikit mengendurkan perhatiannya dari Cassandra. He want her so bad. Aku terpaksa untuk merekayasa semua ini agar Alexis merasa rencananya berhasil,".
"Kau tahu darimana? Apa yang membuatku harus percaya kepadamu?," tanyaku dengan emosi yang tertahan.

"Sir!," tiba - tiba pundakku ditepuk dari belakang oleh seseorang.

***

"Romeo?," aku menoleh.

Cindy melirik Romeo dan kembali mengarahkan pandangannya ke arahku.

"Romeo adalah orang kepercayaanku di York. He's not Lazzaro's or Belucci's. Dia civil yang bisa aku andalkan untuk membantuku. Segala macam informasi aku dapatkan darinya. Dan tentu kau tahu sendiri, Alexis selalu menyuruh Romeo," Cindy menjelaskan

Romeo mengangguk pelan.

"Maafkan aku, Sir. Surat 2 hari lalu, yang aku berikan kepadamu di La Cognac's adalah surat palsu. Don Alexis yang menyuruhku,"

Surat yang aku sangka adalah sebuah ungkapan kerinduan Cassandra tersebut hanyalah sebuah tipuan. Untuk mempermainkan pikiran, perasaan, dan rasa bersalahku yang teramat dalam akan kesalahanku yang lalu. 
Alexis merancang sebuah serangan psikis untuk membuat diriku melepaskan orang yang sangat aku cintai.

"Take this, and go! Di depan hotel ini para Belucci's sudah siap mengantarmu," ujar Cindy sambil menyerahkan foto Mrs. Janie kepadaku.
"Untuk apa ini?," tanyaku heran.
"Jangan ke La Cognac's!," Cindy menjawab dengan nada tegas sambil membalikkan foto Mrs. Janie. "Cassandra menunggu! Dan, bersiaplah untuk semua kenyataanmu," tutup Cindy sembari meninggalkanku di bar, pergi keluar diekori oleh Romeo.

Aku menarik foto ibunda Cindy dan Cassandra tersebut. Mendapati sebuah tulisan penuh informasi, yang sepertinya akan mendekatkanku, pada akhir garis kenyataan kisah memusingkan ini.

Aku menghela nafas dan meneguk Marthenku.

Tuesday, August 20, 2013

Pengantar Pesan

"Tidak usah panik, Sir. Aku tak akan menidurimu lagi,"

Wanita di hadapanku ini mulai berbicara. Senyum dan kerlingan matanya yang khas sempat membodohiku, aku dikerjai habis - habisan di daerah kekuasaan milik keluarganya. Sekarang apalagi yang menghalangiku untuk menegaskan gestur waspada di hadapannya ? Ditambah secara tak terduga dia datang menghampiriku di tempat yang hanya berjarak satu blok saja dari St Clara.

Dimana juga Alexis ? Kenapa tiba - tiba menghilang dari tempat dia seharusnya memperhatikan keberadaanku. Apa lagi yang dia rencanakan ? Apa ini rencananya ? membawa Cindy di hadapanku ? Untuk dikerjai lagi ? Mana Cassandra ? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiranku.

"Takdir mempertemukan kita lagi, Sir. Atau memang kau yang tak bisa jauh dariku semenjak kita bertemu ?," ucap Cindy genit mencoba meruntuhkan benteng kewaspadaanku.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini, Lady ?," tanyaku penasaran.
"Para Belucci's ada di seberang sana, Sir," balasnya sambil memainkan matanya menuju ke seberang 85th Street, "Apa aku harus menjelaskan lebih detil lagi ?," godanya sambil mengedipkan mata.
"Okay, I see. Lalu apa tujuanmu kesini ? Lagipula ini bukan Belucci's territory, Cindy,"

Aku mencoba sebisa mungkin menyembunyikan kekalutanku. Sambil terus melihat ke sisi - sisi luar restoran memperhatikan para Belucci's yang mungkin bersembunyi di suatu tempat menjaga putri kesayangan boss mereka, ataupun seseorang yang tiba - tiba saja datang mengajakku pergi dari ruangan ini. Siapapun atau apapun itu tolong buat aku angkat kaki dari sini, aku benar - benar tidak nyaman di depan wanita yang pernah mengerjaiku ini.

"Buat apa aku mementingkan daerah kekuasaan hanya untuk mengantarkan pesan dari Cassandra untukmu, Sir ?,".

Cassandra ? Dia menyebut nama Cassandra. Kontan segala sarafku memusat untuk mendengar segala hal - hal yang akan segera dia nyatakan mengenai orang yang sedang menjadi fokus pencarianku selama 2 hari ini, semenjak aku melihat dengan jelas orang yang aku kira telah tiada tersebut masih menunjukkan keberadaannya.

"Dimana dia ?! Apa yang kalian perbuat padanya ?!,".

***

"Cassandra mencarimu, Sir,"
 "Apa maksudmu ? Dimana dia ?," kejarku tanpa ampun mencoba mendapatkan informasi sebanyak mungkin.
"Chill, Sir. Aku datang kesini hanya untuk menyampaikan pesan kepadamu. Dengarkan baik - baik !,"

Cindy bersikap tenang, sedangkan aku terlihat memburu. Kami berdua saling bertahan dengan sikap dan tujuan dalam pertemuan tak terkira ini. Pesan apa yang sampai harus diperantarakan oleh Cassandra kepada seorang Cindy ? Kenapa tidak langsung disampaikan saja langsung oleh Cassandra ? Apa dia tak mau bertemu denganku ? berbagai pertanyaan timbul di benakku.

"Ini tentang Pedro Cabral, dan ini tentang kau dan Cassandra," ujar Cindy tetap dengan ketenangan luar biasa mengucapkan inti pesan yang akan dia sampaikan.
Aku berdeham, "Baiklah, sampaikan sekarang !," ucapku sedikit melonggarkan kewaspadaanku.
"Sorry, Sir. Tidak disini,"
"Apa ?! Kenapa tidak ?!," aku sedikit menaikkan nada suaraku mencoba untuk memaksa.
"Clairea. Disana tidak ada yang memperhatikan dari kejauhan seperti seseorang disini. Bila memang kau ingin tahu, datanglah !,".
"Apa maksudmu ? Siapa yang memperhatikan ?," selidikku.
 
Cindy tidak menjawab. Dia hanya memberikanku selembar foto berwarna sephia tepat di samping piring Carpaccioku. Melengkungkan senyum indahnya dan berdiri dari kursi di hadapku. Cindy keluar dari Momma's Rest.
 
Aku memperhatikan foto yang Cindy berikan. Tampak sosok Cindy beserta seorang wanita di sampingnya. Mereka berdua sama - sama tersenyum ceria dalam gambar sephia ini. Layaknya dua wanita bangsawan yang sedang berjalan - jalan di tengah kesibukan kota York, dengan sebuah payung di tangan seorang wanita yang sangat aku kenal wajahnya, Cassandra. Ini foto Cindy dan Cassandra. Aku menghela nafas mencoba untuk mencari oksigen masuk ke dalam tubuhku.

"Sir Downey !, ada telepon untukmu," ucap seorang pelayan yang tahu - tahu sudah ada di samping mejaku.

***

"Halo, Sir. Ir rapidamente a partir de ahi," titah seorang di ujung telepon sana menyuruhku untuk segera pergi dari restoran.
"Alexis ! Dimana kau ?! Kenapa kau hilang ?!," tanyaku bertubi - tubi.
"La Cognac's, now ! Aku bersama Cassandra !,"

Aku diam. 
Spontan gagang telepon aku kembalikan ke tempatnya. Aku mengakhiri pembicaraan dengan Alexis tepat dia menyebutkan nama Cassandra.

Aku memijat keningku. Aku kembali ditampar oleh dilema yang sangat tidak aku inginkan.

Mendengarkan kejelasan pesan atau menjemput suatu pertemuan ?

Monday, August 19, 2013

Menulis Takdir

"Kopi, Sir?," tawar Alexis kepadaku.

2 Hari setelah kenyataan La Cognac's yang membawa aku pada kesadaran bahwa Cassandra masih hidup. Aku dan Alexis sering menghabiskan waktu bersama. Bukannya kami tak pernah menghabiskan kebersamaan kami sebelumnya. Tetapi persaingan dan perdebatan menentukan barang kuno apa yang sangat berharga untuk diperebutkan lebih sering terjadi dibanding saling bahu - membahu memecahkan suatu masalah. Seperti saat ini, tiba - tiba saja Alexis melemparkan satu "hadiah" mencengangkan, Cassandra. Yang barang tentu kini menjadi masalah besar bagi kesehatan hati dan kesadaran hidupku. Tapi untungnya dia tak hanya sekedar memberi aku masalah besar, melainkan juga ikut menceburkan diri untuk membantuku merampungkan segala masalah hingga sampai ke tepian persoalan. Thank for that.

Aku menggelengkan kepala menanggapi tawaran dari Alexis.

"Vamos, desayuno!," pinta Alexis kepadaku untuk memesan sarapan, "Tak perlu aku pesankan, kan?," timpalnya lagi.
"Aku tak lapar," tolakku. 

Perut, kepala, dan hatiku sulit untuk diajak kerjasama belakangan ini. Isi surat kerinduan dari Cassandra yang 2 hari lalu aku baca menimbulkan kegerahan tersendiri bagi kehidupanku. Ditambah bayang - bayang tragedi Pedro Cabral masih saja menghantuiku. Setega itukah aku melepas Cassandra di tengah kepanikan yang terjadi saat itu ? tanya batinku menghakimi.

"Masih menyalahkan diri sendiri, huh?,".
"Not your business, Don. Habiskan saja sarapanmu!,".
"Jangan harap aku akan membantumu, bila kau tak mau mendengar ucapanku," Alexis berbicara sambil memotong egg baked breadnya "Take your breakfast ! Setelah itu aku akan memberitahumu bagaimana menulis takdirmu yang baru. Su nuevo destino," lanjutnya sambil kini memasukkan potongan roti isi telur sarapannya ke dalam mulut.

Aku terpojok mendengar hal itu. Dasar mafioso ! Tukang paksa ! kesalku dalam hati.
"Can I get, baked bread with cheese?," pesanku kepada seorang pelayan yang sedang melewati meja kami duduk yang dibalas dengan anggukan dan senyuman, "Thanks," lanjutku menutup pesananku, diiringi senyuman puas Alexis yang terlihat dari ekor mataku.

***

"Apa yang kau ketahui tentang takdir, Downey?," soal Alexis yang sekarang sedang menyetir Smith Coupe kesayangannya ini.
"Entahlah. Tidak bisa diduga? Kesempatan kedua?," jawabku dengan nada ragu yang mengikuti.
Alexis tertawa kecil mendengar jawabanku, "Sejak kapan kau menjawab sesuatu dengan nada tanya di belakangnya ? Apakah ini seorang Downey yang berani keluar - masuk makam Firaun hanya untuk mengambil gelang - gelang emas ? Atau apakah ini seorang Downey yang mati - matian mencari Maine Penny peninggalan Raja Olaf Kyree ? Bukannya kau orang yang paling jauh dari kata keraguan, Sir?," cecar Alexis yang terkesan seperti seorang detektif memojokkan tersangka pencurian benda - benda antik dunia.

Kalimat - kalimat Alexis seperti menohok kesadaranku. Beberapa pertanyaan yang dia lontarkan pun seakan mencoba untuk mengembalikan rohku kembali, yang sepertinya terbang hilang entah kemana.
Rasa bersalah yang keterlaluan membuat ketakutan yang amat sangat ketika mendapati Cassandra yang aku kira sudah hilang ditelan lautan, ternyata masih hidup dan kini menungguku untuk melepaskan segala kerinduan yang dia rasakan. Selemah itukah aku sekarang ?

"Menurutku, takdir itu kita tuliskan sendiri. Walau kehidupan ini tidak bisa ditebak, setidaknya kita bisa memainkan peran untuk mengatur segala kemungkinan jawaban di akhir cerita," tandas Alexis, "Seperti saat ini, siapa yang kira Cassandra ternyata selamat dari kemalangan Atlantic Ocean ? kamu kira dia sudah hilang dan meninggal bukan ? Tapi nyatanya, kenyataan membawanya kembali. Aku kira bukan suatu kebetulan kamu berada di York. Mungkin saja seseorang di atas langit sana sedang bermain, dan memberikan satu peran penting untuk perubahan kehidupanmu. Sekarang tinggal kamu saja yang ditugaskan untuk memilih satu langkah ke depan, agar jawaban dari akhir cerita ini sesuai dengan keinginanmu,".

Alexis tersenyum dan menepuk pundakku. Aku diam sambil mencoba mengartikan penjelasan panjang yang Alexis sampaikan. Kena ! untukku.

***

"Ya, kita sampai,"

Aku melemparkan pandangan dan mengenali daerah ini. 85th Street, dan dengan sedikit menengok aku bisa melihat papan bertuliskan St Clara di belakang sana.

"Mau apa kita disini ? Mau membawa aku ke kandang mafia lagi ?," curigaku kepada Alexis yang sudah siap untuk membuka pintu.
"Relax, Sir. Masuklah ke dalam Momma's Rest, dan pesan Lime Beef Carpaccio. Makan dengan santai dan tunggulah seseorang disana!," suruh Alexis kepadaku.

Aku menatap Restoran Italia di seberang jalan tempat mobil ini berhenti dengan penuh keheranan.

"Lalu kau ?,"
"Aku akan membakar cerutu disini, dan menatap cerita baru takdirmu yang akan kau tuliskan sendiri di dalam sana," jawab Alexis dengan enteng seperti biasa, "Dan duduklah di dekat kaca agar aku bisa memperhatikanmu dengan jelas," kini dia berkata dengan mengedipkan mata.

Pintu Smith Coupe sisi dimana aku duduk sudah kubuka. Aku melangkahkan kaki pelan - pelan ke arah Momma's Rest
Tepat di depan pintu restoran aku menatap ke seberang kiri dan melihat beberapa gerombolan Belucci's yang sedang bercengkerama tak menyadari kehadiranku. Aku pun membuang pandangan ke belakang dan memperhatikan Alexis yang mengacungkan jempol sembari menghisap cerutunya.
Menuliskan takdir baru ? hatiku bertanya menanyakan maksud dari ini semua.

***

Lime Beef Carpaccio sudah ada di hadapku. Beef dish a la Italia yang menggoda selera. Untung saja aku bukan veggie, bersyukurlah aku jadi manusia omnivore
Aku menikmati hidangan yang kupesan berdasarkan suruhan dari Alexis. Mencoba untuk melepaskan segala beban yang terus aku pikirkan agar dapat merasakan kenikmatan masakan nikmat yang jarang sekali aku dapati di tanah Britannia.

"Halo, Downey," sapa seorang tiba - tiba mengganggu santap siangku.

Aku dapati seorang wanita berdiri di samping mejaku. Pelan - pelan aku memainkan mataku menuju ke arah sumber suara. Black velvet gown tampak di mataku, aku menyusuri pelan - pelan sosok wanita ini dari tubuh hingga pandanganku jatuh ke wajahnya.

"Hello," aku balas dengan gugup tak percaya.
"Boleh aku duduk disini ?,".
"Pl... Ple... Please," balasku terbata - bata mempersilahkan.

Aku menilik sesaat ke luar jendela dan mencari sosok Alexis. Seorang pria Spanyol yang seharusnya sedang menghisap cerutu di luar sana sudah menghilang. Mobil berwarna coklat pun sudah tidak kudapati lagi di tempat seharusnya diparkir.

"Kita bertemu lagi ya, Sir," kata gadis di hadapku mengembalikan perhatianku padanya.
"Ya, suatu kebetulan... Cindy," balasku sekenanya.
"Mungkin takdir,"

Aku memberikan senyum terpaksa.

***

"Terima kasih Cassandra mau menemaniku berjalan - jalan," tutur Alexis di belakang kemudi sambil melengkungkan senyuman.
"My pleasure, Don," jawab Cassandra dengan nada lembut.

Saturday, August 17, 2013

Tiga Senjata

Aku memperhatikan Alexis dari dalam mobil. Dia kini sedang berbicara dengan entah siapa di telepon umum itu. Lagaknya serius, tetapi tetap ada senyum misterius yang tercetak di wajahnya. Apa lagi yang dipersiapkannya ? batinku.
Sesaat setelah memperhatikan Alexis, perhatianku kembali aku tujukan kepada Cassandra yang kini berjalan mengekori Don Belucci. Sialan si tua bangka gendut ini ! makiku, ketika melihat dia membuka mobil Black Shubert Frigatenya dan mempersilahkan Cassandra naik.

"Hei Estupido, rapidamente entro en el coche!," aku membuka kaca mobil Smith Coupe ini dan berteriak ke arah pria yang sedari tadi berbicara tak kunjung usai di telpon umum.
"Espera un minuto, Sir" jawabnya menyabariku.

Aku menepuk keningku. Black Frigate tadi sudah hilang dari pandangan. Mobil itu tepat lepas dari pandanganku setelah belok kanan di perempatan Clarq Avenue menuju 141st Street. Lenyap sudah harapanku bertemu dengan Cassandra.

"Keluarlah sekarang! kita minum dulu disana," tiba - tiba Alexis muncul di jendela mobil yang tadi aku buka dan menunjuk ke arah La Cognac's.
"What? Bukankah kita harus mengikuti mereka?," ucapku tak percaya dengan ajakan minum yang ditawarkan Alexis. "Aku tak haus Alexis! Bisakah kita sekarang mengejar mereka?," sanggahku melanjutkan permohonan.
"No," Alexis menggeleng, "Keluarlah sekarang dan jangan lupa tutup jendela ini!," Alexis tetap bersikukuh mengajakku minum ke bar favoritku dan Cassandra ini. La Cognac's

***

*Tring... Tring Tring Tring* Alexis menekan bar bell, dan kontan membuatku heran, Sejak kapan dia menekan bar bell seperti itu ?.
"Welcome, Sir... Eh," ucap salah seorang bartender berpakaian kemeja merah dengan dasi putih yang menggelayut di lehernya.
"Kenapa Eh, chico?," tanya Alexis mencoba memojokkan si bartender.
"Relax Harte, He is my friend," timpalku mencoba membuat relax si pelayan tetap La Cognac'sku. "Dia Alexis, dan mungkin dia akan sering kesini. Jadi layani dia seperti kamu melayani aku. He is a great tipper anyway," aku menjelaskan.
"Eh, iya Sir Downey," ujar Harte sambil menunduk. "Reims Marthen, Sir?,".
"Yeah, make it two!," jawabku cepat disertai anggukan Alexis yang duduk di samping kiriku.

Harte mempersiapkan pesanan yang aku minta. Dari pandanganku tidak ada perubahan dari bar favoritku ini. 3 tong besar berwana coklat di sudut ruangan sebagai properti, lampu kerlap - kerlip yang memberi kesan temaram namun tentram, beberapa meja dan kursi yang ditata rapi, counter bar yang dipadankan dengan bar stools, juga alunan musik jazz yang diputar, makin menambahkan kualitas harga tinggi bar ini. Ini yang membuat Cassandra mencintai bar ini, begitu juga aku.

Ah iya, Cassandra.

"Jadi kenapa kita harus masuk ke bar ini, Don?," tanyaku penasaran.
"Aku ingin mencoba cognac favoritmu, Sir," jawab Alexis ringan.

Aku tak percaya mendengar jawaban konyol yang dia ucapkan. Tingkat keingintahuanku semakin menjadi, rasa penasaran terhadap kelakuan Alexis semakin membuncah tak tertahan. Aku memijat keningku sembari sesekali menepuknya untuk menahan segala kegemasanku terhadap gerak - gerik yang pria ini tunjukkan.

"Your cognac, Sir," tiba - tiba Harte datang membawa 2 brandy kesukaanku. Satu dia berikan di hadapanku, dan lainnya lagi di depan Alexis. "Enjoy your drink, Sir," kata Harte mempersilahkan kami menikmati.

"Ya, The Marthen! Cheers, Downey!," ujar Alexis sambil mengangkat gelas dan melakukan toss kepadaku.
"Cheers!," balasku malas - malas.

***

Sudah 4 Marthen yang diminum oleh Alexis. Aku tak tahu apa yang mendasari manusia ini untuk drink like a fish. Pipinya memerah, dan cara duduknya pun mulai tak tegak. Oh please, jangan mabuk di saat seperti ini, Don! selorohku meminta dalam hati.

"Can you stop this, Alexis?!," aku meminta dengan tegas kepada Alexis agar dia tidak mabuk. Ini bukan persoalan aku peduli atau apapun, ini perkara dialah yang tahu seluk beluk mengenai Cassandra untuk saat ini, aku membutuhkannya untuk tetap sadar.


"Sir Downey?," tiba - tiba ada seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Aku menengok dan mendapati anak muda yang pernah aku temui sebelumnya.

"Romeo," aku mengenali pemuda ini. Penerima tamu di Christie Auction House. "Untuk apa kau kemari?," tanyaku melanjutkan pembicaraan.

"Don Alexis memintaku untuk memberikanmu ini, Sir. Cangklong , tongkat, dan arloji ini," jelas Romeo sambil memberikan semua barang koleksi kesayanganku yang sempat dilucuti oleh para Belucci's.

"Terima kasih Romeo,".

"Oh iya, ada satu lagi. Untuk anda dari seseorang, Sir" Romeo memberikan sepucuk surat yang dihiasi tali pita merah yang khas.

Aku menerima surat itu. Melihat sisi amplop, tidak ada nama ataupun alamat, hanya identitas khas. Seutas pita merah yang mengingatkan aku pada seseorang.

"Gracias chico. Now you can go! And here your tips, Romeo," tandas Alexis tiba - tiba di sampingku, yang sepertinya sudah menemukan kembali kesadarannya.

Aku melihat segala barang - barang yang aku dapatkan kembali. Cangklong, tongkat, dan arloji. Juga sepucuk surat ini. Otakku berpikir keras untuk beberapa hal ke depan yang spontan tergambarkan di dalam benakku.

"Eh Sir. Marthen ini cukup kuat juga ya,"

Aku tak mengindahkan ucapan konyol Alexis, aku rasa efek mabuk 4 cognac masih tersisa di dalam otaknya. Kini aku fokus mengembalikan segala barang - barang kecintaanku ini di tempatnya, di saku jas abu - abu yang aku kenakan. 
Aku membuka amplop surat ini dan mulai membaca isi pesan yang tersimpan di dalamnya.

I Miss you, D
 
Aku terperangah membaca surat ini. Hanya ungkapan kerinduan yang tertulis di dalamnya.

"Surat ini aku dapatkan di Clairea. Ada seorang wanita yang begitu familiar masuk ke dalam bar dan aku mengikutinya. Secara sengaja aku duduk mendampingi dia sambil mencoba mengungkap siapa dia. Ya dan tebakanku benar, dia Cassandra...," cerita Alexis kembali tiba - tiba.

Aku terdiam mendengar cerita Alexis. Penjelasan yang dia sampaikan menyadarkan, bahwa aku meninggalkan Cassandra dalam ekspedisi Pedro Cabral. Dia terlepas dari genggamanku ketika ombak besar terakhir menghantam kapal kami.

"Senjatamu sudah terkumpul bukan? Cangklong Sherlockmu, tongkat Watsonmu, dan arloji emasmu. Aku tahu itu sangat berharga dibanding barang - barang antik lain koleksimu. 3 barang ini hasil pencarian Cassandra yang diberikan padamu kan?," tebak Alexis.

Aku mengangguk tapi tetap menunduk, masih mengingat kenangan buruk yang tak pernah aku lupakan.

"Sudahlah! cognacku juga sudah habis. Mau melanjutkan pencarian Cassandra? Apakah kamu masih tetap mau bertemu dengan Your Beloved Lady? Dia merindukanmu, Sir,".

Aku tak menjawab.

Lima Menit Kemudian

Sisa - sisa pening di kepala masih menggelayut, seperti banyak burung beterbangan yang berputar di atas kepalaku sambil tertawa meledek kebodohan diriku yang dengan lugunya dikerjai oleh wanita cantik yang baru aku kenal. Sambil bersandar pada kursi mobil, aku memijat keningku untuk menghilangkan pusing yang ada.

"Downey. Apakah kau tidak sadar Cindy itu putri dari Don Belucci?," tanya Alexis yang sedang duduk menyetir di sampingku.
"Aku hanya pernah dengar nama belum pernah melihat sosok. Tidak aku sangka aku dikerjai oleh putri mafioso sial itu,"
Alexis mengangkat sudut bibirnya, menyunggingkan senyum cibiran. "Kamu selalu saja dibutakan oleh kecantikan kaum Hawa, huh?,"
"Sudahlah, tidak usah kau menyindir aku," sergahku menahan segala sindiran yang akan dia tumpahkan.
"Bien," sambil tertawa dia merespon protesku. "Dan untung saja St. Clara berbatasan dengan 85th Street, huh?," lanjutnya mencoba untuk menggodaku.

85th Street. Nama jalan daerah kekuasaan Lazzaro Famiglia yang menjadi perbatasan dengan daerah kekuasaan Belucci Famiglia. Tidak banyak yang tahu bahwa aku mempunyai hubungan dekat dengan Don Lazzaro, dan sepertinya memang hanya aku saja yang kenal dekat dengan dia, Alexis Lazzaro. Ya, selain aku dan beberapa penguasa tertinggi famiglia. Tidak ada yang tahu bahwa Alexis adalah sosok sebenarnya penguasa tertinggi Lazzaro's.
Beruntungnya, para bodyguard Cindy dari Belucci's menyeretku ke salah satu alley di 85th Street.

"Yes, Lucky me. Setidaknya daerah kekuasaanmu save my ass. Thanks," timpalku berterimakasih kepada Alexis.

Aku masih saja tak habis pikir dengan kepolosan diriku yang mau - mau saja diisengi oleh putri dari mafia perampok barang - barang antik.
Perampok?! Oh tidak! setelah beberapa saraf sadarku mulai kembali, benar saja apa yang aku kira. Cangklong Sherlock, tongkat Watson dan arloji emasku habis dilucuti.

"Kenapa kau gelisah, Sir?," tanya Alexis yang heran melihat gelagatku.
"Barang - barang berhargaku habis dicuri oleh mereka, Don!," kesalku.
Alexis hanya menggeleng pelan sambil menaikkan sudut alisnya. "Tenang saja!," suruh Alexis mencoba untung menenangkan.
Aku menarik nafas "Tenang bagaimana?! Barang koleksi kesayanganku diambil semua!,".
"Calma, Downey! Urusan barangmu ada di kantorku, yang lebih penting adalah tujuan dari perjalanan kita ini. Sesaat setelah kau sadar tadi, ingatkah kau menyebutkan satu nama? Tu dama, Cassandra,"

Aku terhenyak mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Alexis. Apa yang dia maksud dengan tujuan perjalanan ini menuju Cassandra. Tunanganku yang sudah tiada.

"Are you kidding me, Alexis? Don't play with me use that name!," tuturku dengan penuh emosi yang terselip di balik setiap kata yang aku lontarkan. Masih ada perasaan tidak terima atas kepergian wanita yang aku cintai tersebut.

Alexis tersenyum dan masih berlagak santai di belakang kemudi.

Kebingungan melandaku. Pertanyaan yang tak terjawab semakin menyulut rasa penasaran dari ucapan Alexis tadi, sikapnya pun semakin membuatku gemas untuk mencari tahu arti dari segala perkataannya mengenai Cassandra. Aku tidak tenang memikirkan ini semua, setelah bertemu secara tidak sengaja dalam ketidaksadaran, kini aku dipaksakan agar bersiap dalam pertemuan kembali di kenyataan.

Mobil berhenti di depan telepon umum seberang bar daerah Manahattan. La Cognac's.

"No! Why's here?," aku bertanya secara spontan kepada Alexis ketika menyadari bahwa bar di seberang sana itu adalah bar favorit aku dan Cassandra.
"Jangan banyak bertanya dan perhatikan saja!," suruh Alexis sembari melihat arloji kepunyaannya yang dia keluarkan dari saku dalam tuxedo hitamnya. "5 Menit lagi dan fokuslah ke pintu bar!," tutupnya.

Apa - apaan ini. Pertanyaanku tak terjawab, malah disuruh menunggu, oleh tuan mafia sainganku dalam memperebutkan barang - barang antik. Aku tak bisa duduk tenang lagi di dalam mobil, bulir - bulir keringat membentuk di dahiku, mengalir pelan menyusuri pipi sampai ke dagu dan akhirnya jatuh ke pangkuan. Entah 5 menit menjadi waktu tunggu yang sangat lama, gelagat Alexis yang sangat serius pun menambah keresahan yang aku rasakan. Apakah Cassandra masih hidup? Pertanyaan itu terpampang jelas kini di pikiranku.

5 menit terlewat, dan...
Pintu bar terbuka ke arah dalam. Degupan jantungku semakin cepat. Satu sosok perlahan terlihat keluar dari bar itu. Berstelan jas coklat dengan fedora warna senada bergaris hitam.

"Itu Belucci, Downey," jelas Alexis yang menyadari atensi penuhku kini menuju pintu bar La Cognac's.

Aku tak bergeming mendengar penjelasan yang diutarakan Alexis. Aku menunggu Cassandra yang aku rasa akan keluar dari bar itu.
Pintu bar masih terbuka, seorang pelayan terlihat sedang mempersilahkan satu tamu untuk keluar.

Wanita berambut pirang digerai, dengan dress merah serta sedikit sentuhan renda sebagai penghias, digabungkan dengan elegant skirt berwarna sama. Ah! Entahlah aku tak ambil pusing dengan gaya baju yang dia pakai. Kini yang terpenting adalah, dia Cassandra.

"Itu...,"
"Cassandra!," aku memotong penjelasan yang akan diucapkan Alexis.

"Tapi! Apa hubungannya Cassandra dengan Belucci? Dan kenapa kau membawaku melihat ini Alexis?," tanyaku setelah sadar menuruti segala ucapan Alexis dalam penantian 5 menit yang berarti.
"Kau banyak tanya Downey," jawab Alexis enteng sembari keluar dari mobil dan berjalan menuju telepon umum di samping tempat mobil ini berhenti.

Friday, August 16, 2013

Tombol Pengingat

"Apa kita boleh mampir ke bar di hotel ini sebentar, Sir?," tanya Cindy kepadaku.

Little Italy. Entahlah aku tak terlalu suka tempat ini. Mungkin hanya karena penilaian personalku atau memang gosip dari sana - sini yang aku dengar mengenai kawasan yang dikuasai oleh beberapa mafioso Amerika - Italia ini. Aku tak terlalu khawatir dengan penjahat kelas kakap seperti itu, tapi entahlah aku malas saja bila dipertemukan dengan mereka. Biar mereka yang masih sekedar outsider dalam la famiglia, atau sudah menjadi Don penguasa keluarga.

"Your call, lady," ucapku, sambil membukakan pintu hotel St. Clara.

Sebelum aku masuk ke dalam hotel, suatu intuisi membuat aku menyempatkan diri untuk menengok ke arah plang nama jalan dan spontan melekukkan sedikit senyuman di wajahku. 85th street.

Clairea Bar. Bar yang cukup elegan. Dengan sentuhan warna coklat di segala sisi ruangan, dan beberapa meja bulat yang diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan kenyamanan para tamu - tamu bar, dan pastinya tidak lupa beberapa bendera kecil Italia yang menggantung di beberapa tiang penyangga bar ini. Aku dan Cindy memutuskan untuk bersantai di bar dibanding open table di meja bulat yang beberapa spot telah diisi para pria bersetelan jas lengkap dengan fedoranya.

*Tring... Tring Tring Tring* aku menekan bar bell, dan sejurus kemudian bartender berpenampilan rapih dengan vest hitam dan dipadupadankan dengan kemeja putih serta celana hitam menyambut kami.

"Reims Marthen," aku memesan salah satu cognac favoritku.
"Berikan aku Red Wine," pesan Cindy sembari tersenyum penuh arti kepada si pramusaji.

Aku terus memperhatikan tempat ini sembari menunggu pesanan minuman. Sudut mataku tertarik kepada beberapa pria berstelan yang aku rasa sedari awal aku dan Cindy masuk bar ini sudah memperhatikan. Dan satu pria bertuksedo hitam di ujung bar ini yang memandang Cindy penuh maksud.
Darn! Mafia Lair! sesahku dalam hati.

"Il tuo ordine, Sir," "Il tuo vino, Signora," tak lama pramusaji datang membawa order kami berdua yang serta merta melenyapkan pengamatanku kepada tempat ini.
 "Grazie," balas kami berdua hampir bersamaan.

"Cheers, Sir," terang Cindy ketika mendapati minumannya.
"Cheers,"

***

Rumah bercat putih ini tidak asing bagiku, dengan adanya pagar mini dilengkapi gapura kecil sebagai penanda jalan menuju pintu rumah, semakin membuatku mengingat - ingat sesuatu. Terasa jelas sekali dalam kilasan ingatan tapi masih samar - samar.
Aku masuk menapaki jalan menuju pintu utama rumah ini. Bukan untuk sekedar bertamu, tapi ingin menuntaskan rasa penasaran terhadap ingatanku yang ingin sekali terungkap tapi sedang dalam keadaan tersekap.

Pintu rumah putih ini kini di hadapku. Tidak ada bel di pinggir daun pintu ataupun alat pengetuk yang menggelantung. Aku memperhatikan pintu yang bercat sewarna dengan warna rumah ini. Ingatanku terus memaksa untuk keluar, tapi tertahan.

Ah! buat apa terus mencoba mengingat - ingat kesalku dalam hati karena rasa penasaranku tak juga segera terjawab dengan segala daya memori kepalaku.

Helaan nafas mengiringi ketukan kubu - kubu jariku di pintu. 4 ketukan dengan sedikit jeda setelah ketukan pertama. Aku menunggu pintu dibukakan. Ketukan kedua masih senada dengan ketukan sebelumnya, tapi kini aku iringi dengan ucapan salam "Permisi!,".

Tidak berapa lama aku dengar suara langkah kaki dari dalam rumah menyambut ke arah pintu, mendapati hal itu aku menyiapkan diri untuk melihat siapa yang ada di balik pintu. Sosok yang mungkin akan menyelesaikan permasalahan ingatanku yang sedari tadi memaksa untuk tersingkap.

"Wel... come," ujar seorang wanita berambut pirang, bermata cerlang, terbata ketika melihatku di depan pintu.
Aku mendapati wanita ini tepat di hadapku. Darah dalam otakku mengalir deras, ingatanku seakan terbuka dan membuat bibirku mengucap satu nama. "Cas... Cassandra?," kataku terperangah tak percaya
"Downey?," balasnya sambil menghambur memelukku.

Aku merasakan pelukannya erat. Aku memejam merasakan ingatanku kembali. Ini rumahku, dan ini tunanganku, Cassandra Lavinia.
Dia seorang wanita yang mendampingi kehidupanku dari aku merintis pencarian artefak - artefak Firaun, hingga Ekspedisi Laut di Portugis, bahkan perempuan ini yang menemaniku dalam kesukaran saat kapal yang membawa aku dan dia dihajar ombak besar dalam ekspedisi Pedro Cabral di Atlantic Ocean.
Dia yang... Dia yang hilang dalam pencarian ekspedisi ini. Cassandra hilang setelah kapal kami karam. Tunanganku yang terlepas dari genggamanku ketika kekalutan melanda seluruh kapal.

***

"Ya para arriba, Sir?," tanya seseorang yang suaranya aku kenal.
"Alexis?,"

Kepalaku terasa berat.

"Cassandra!," aku mengucapkan nama itu dengan segala ketegasan yang terdengar lemah dikarenakan pening di kepalaku.
"Sepertinya bel di bar itu menjadi tombol pemantik ingatanmu, huh?,"

Kepalaku masih sangat terasa pusing dan makin menjadi, akibat mimpi entah indah entah buruk.

"Siempre eres tonta, Downey. Your Lady memasukkan pil tidur dalam cognacmu!". tutur Alexis sambil memapahku berdiri.

Sekilas aku melihat plang nama jalan. 85th Street.

Wednesday, August 14, 2013

Sepasang Sepatu Tua

Aku seorang pengumpul benda - benda antik. Entah kenapa aku menyukainya. Aku rasa ada misteri menyenangkan yang terdapat pada sebuah benda kuno yang senang aku koleksi tersebut. Mulai dari beberapa koin emas hasil jarahan Captain Kidd yang aku menangkan dalam salah satu rumah lelang di London. Sebongkah salib emas empunya perompak Oliver Levasseur yang aku dapatkan dari ekspedisi laut di Portugis. Hingga sedikit merchandise gelang - gelang emas Amenhotep yang aku ambil diam - diam dalam perjalananku menyelusuri Mesir.

Semua orang di dataran Britannia Raya ini sudah mengenalku. Seorang maniak benda kuno bernilai tinggi, pesaing pemerintahan dalam mengumpulkan benda bersejarah untuk dimuseumkan, bahkan aku terkenal dengan sebutan "The Ancient Prince", julukan yang tidak terlalu buruk bukan ?.

Saat ini aku sedang berjalan santai menuju Christie Auction House di kota New York. Aku mengayunkan tongkatku sembari menghisap cangklong yang sedari perjalanan dari tempat hotelku menginap sudah tertempel di bibirku. Jalanan York ini selalu membosankan, hanya ada mobil - mobil yang berjalan sesuai aturan, tidak ada keberanian sama sekali dari penduduk kota ini untuk sedikit saja berbuat nakal. Maklumkan saja, aku terkadang terlalu malas untuk selalu mengikuti ketertaturan. Mengekang dan tak bebas, buatku.
Aku terus berjalan mantap sambil berpikir akan ada barang apa saja yang akan dilelang nanti.

"Cinderella Glass!," ucap seorang wanita berparas cantik yang melihat selebaran di depan Christie Auction House.

Aku terdiam sesaat. Berdiri tegap sambil memandangi wanita itu dari ujung kaki yang beralaskan white stilleto hingga ke titik terakhir rambutnya yang ditutup oleh topi bulat putih yang warnanya senada dengan gaun yang dipakainya.
Oh Cinderella benar - benar ada, ya? batinku.
Aku kemudian menarik kembali kesadaran penuhku dan berjalan menuju tempat yang kini telah ditinggalkan wanita cantik tadi.

"Sir Downey, apa yang sekarang kau incar?," tanya seseorang yang tiba - tiba telah berada di sampingku.
"Don Alexis. Entahlah lihat saja nanti apa yang mereka pertontonkan," ucapku tanpa menoleh.
"Seperti biasa, huh? Selalu menyimpan misteri dengan apa yang kamu ingini,"
"Me conoces, Alexis,"

Aku masuk ke dalam rumah lelang dan meninggalkan Alexis yang masih melihat selebaran berisi daftar barang lelang hari ini. Damn, why he's here? It'll be tough serapahku.

"Welcome, Sir Downey," sambut seorang pemuda di depan pintu rumah lelang ini.
"Thank you, Romeo,"

***

"250 grands!," teriak seorang bapak berstelan jas hitam.
"275 grands!," balas seorang pemuda kaya di ujung kanan ruangan ini.
"300 grands!," pekik seorang bapak di barisanku tak mau kalah.
"315 grands!," bapak berstelan jas hitam kembali menyahut.

 "315 grands, one," "315 grands, two,"

"500 grands!," ucap seorang pria dari arah belakang yang suaranya sudah tak asing lagi bagiku.

Seluruh ruang berdecak. Menoleh ke arah penawar yang memberikan harga tinggi untuk sebuah mahkota Raja Perancis, Charles VII.
Aku menoleh kepadanya, good job Alexis, you always wanna a lot of attentions, huh? aku menatapnya sambil tersenyum dan kemudian mengedipkan mata.

Alexis balas tersenyum.

"500 grands, one," "500 grands, two," "500 grands, three," palu diketuk oleh sang auctioneers. "Terjual pada no. 46, Don Alexis,"
Semua orang di ruangan bertepuk tangan. Aku menggelengkan kepala melihat salah satu teman sekaligus musuh terberatku dalam mengoleksi barang - barang antik ini bergaya hormat ala penyanyi opera yang telah menyelesaikan pementasannya. Show off.

Barang demi barang dikeluarkan dalam lelang ini. Entah tidak ada yang menarik bagiku. Gaun Prince Diane, Vas antik dari pemerintahan Kubilai Khan, Hingga sebilah pedang Alexander The Great tidak membuat aku bergeming melemparkan tawaran.

"Barang terakhir. Sepasang sepatu kaca tua. Cinderella Glass!," ucap sang auctioneer dengan lantang.

Aku yang sedari tadi menguap - nguap semakin tidak tertarik pada pelelangan hari ini. Barang - barang yang dilelang disini masih kalah nilainya dengan barang yang sudah aku punya.

"Dibuka dengan 150 grands," ucap sang auctioneer membuka harga perdana untuk sepatu kaca tua cerita fantasi putri - putri kerajaan, Cinderella.

"350 grands!," ucap seorang wanita bergaun putih di barisan paling depan.

Seisi ruangan menoleh pada gadis ini. Cukup tinggi harga yang dia lemparkan untuk sepasang sepatu kaca tokoh rekaan cerita pengantar tidur anak - anak.

"425 grands!," tegas seorang pria di belakangku yang tak lain dan tak bukan, Alexis.

 Kini seisi ruangan menaruh perhatian pada pria Spanyol tukang cari perhatian ini. Aku? Aku tidak ambil pusing dengan tingkah pria itu, kini fokusku hanya pada wanita bergaun putih. Malaikat buatku.

"500 grands!," ucap malaikat ini sembari menaikkan papan nomornya.
Aku tersenyum. Hal ini menarik minatku.

"575 grands!," ujar Alexis.

Wanita bergaun putih itu kini menengok ke arah Alexis dengan pandangan tak percaya. Di wajahnya tergurat kekecewaan.

"600 grands!," wanita bergaun putih masih bersikeras.

Engkau tidak tahu siapa lawanmu, lady. hatiku menyesah melihat perjuangan wanita cantik ini.

"650 grands!," Alexis masih lantang bersuara.

Wanita itu kini hanya menunduk dan pasrah mendengar penawaran yang diajukan Alexis.

"650 grands, one," "650 grands, two,"

"1000 grands, and this is for the lady," aku mengangkat papan nomorku, dan menghentikan persaingan penawaran ini. Aku menengok ke arah Alexis dengan memberikan senyum menantang. Seisi rumah lelang terdiam.

***

Sepasang sepatu kaca itu sekarang telah berada di genggaman.
Bukan di genggamanku, tapi di genggaman wanita cantik di hadapanku sekarang ini

"Kenalkan, aku Downey," ucapku pada wanita bergaun putih sambil menawarkan tangan untuk berjabat.
"Aku, Cindy," jawabnya sambil menyambut tanganku.
"Jadi, apa makna sepatu itu untukmu, Cindy ?,"
"Entahlah, aku hanya menyukai Cinderella dan aku selalu membayangkan menjadi seorang putri,"

Aku tersenyum mendengar jawabnya. Sepasang sepatu kaca tua, empunya tokoh rekaan cerita anak - anak itu ternyata benar - benar ada. Tak lusuh, ataupun tak usang tergerus jaman. Bahkan tetap cantik, dan kini dimiliki oleh seseorang yang pantas untuk memakainya. Seorang calon putri.

Putri apa? Entahlah, bisa saja menjadi Princess pendamping The Ancient Prince, kan?

"Ehm, Thank your, Sir once again," katanya sambil melekukan senyum terbaiknya dengan terus menggenggam sepatu kaca yang aku berhasil menangkan untuknya.
"Anytime, lady,"
"Baiklah, rumahku dekat dari sini, mau berkunjung?,"tawarnya.
Aku menaikkan alisku tanda setuju.
"Okay, let's go!,"
"After you, lady," responku sambil mengiringi sang calon putri ini melangkah.

Tak jauh dari sana.

"Downey, mirar hacia fuera!," ucap seseorang yang memperhatikan dari kejauhan

Friday, August 9, 2013

Maafkan

Sudah lepaskan aku.
Ini bukan perkara kamu, melainkan aku.

Bukan kamu yang hancurkan, bukan kamu yang patut dipersalahkan.

Maafkan bila beberapa sudut hatimu terkoyak. Maafkan bila titik air dari pelupuk matamu menetes. Maafkan bila hal ini menyakitkan. Maafkan bila kisah ini terhenyak luruh tak lagi tersentuh.

Aku yang tak mampu lagi bertahan, karena mengikuti semua kebodohan. Aku jatuh tak bisa lagi menguasai perasaan. Terjebak dalam permainan yang tak sengaja aku ciptakan, mendesain strategi agar tak menjadi korban, malah kini aku menjadi seorang tertawan. Karena, aku yang telah tergoyahkan.

Dia. Aku tertegun oleh kasihnya, aku menikmati segala bentuk rasa sayangnya, tulus dan mengena. Tepat di kala aku terpukul jatuh oleh segala rentetan permasalahan.
Dia. Memberikan pangkuan ternyaman dalam kesalahan keadaan. Merebakkan segala perhatian untuk mengalihkan pandangan. Aku terperosok dalam kesalahlangkahan, aku tahu ini akan memusingkan tapi tiada daya bagiku untuk melawan. Tidak! Aku terlanjur nyaman.

Cerita - cerita selanjutnya sudah dapat ditebak. Aku diharuskan berlakon bak aktor bermuka dua. Berwajah manis di hadapmu, berwajah menyenangkan bila di depannya. Aku harus bisa berlelah dalam menyembunyikan, aku diwajibkan untuk berpayah dalam mengondisikan. Agar tak ada hati yang patah, agar senyum tetap bermekaran di masing - masing paras indah. Ah! Aku mencintai kalian.

Terus menerus aku diterjang dengan sederet kudapan cinta yang selalu tersedia. Bukan darimu, tapi dia. Tak bisa terelakkan. Aku menyadari, aku semakin hilang dalam rasa yang salah ini.
Dirimu semakin lenyap, hanya bayang sekelebat dan digantikan sosoknya. Titik - titik dari ingatan wajahmu makin tak terlihat, sekilas dan cepat musnah. Astaga! Kau menjadi tidak kasat mata lagi, sayang.

Maafkan!
Kini kau boleh tampar dan remukkan aku. Perasaan yang terdahulu boleh kau kembalikan padaku atau kau campakkan jauh - jauh. Kusadari keping dirimu kini sudah menyebar, setelah pecah dan marah dalam menghadapi segala gelisah. Tak usah menyesah dan merasa lemah. Aku yang salah, dan aku mengaku kalah.

Maafkan aku.
Bukan maksudku mendua, tapi tiada daya bagiku untuk dapat menahan rasa dari kalian berdua.


Tulisan ini terinspirasi dari : Demi Waktu - Ungu

Sunday, August 4, 2013

Perjalanan Kalian

Perjalanan cerita telah dimulai. Langkah demi langkah yang rapih maju hingga mencapai suatu titik. Dua pasang sanubari pun berjalan beriringan, bertaut mesra tanpa merasa hampa. Sama - sama sudah terpenuhi, sama - sama sudah saling mengisi.

Saling melontarkan bahasa kasih pun terbit, senyum di masing - masing paras pun menjadi hiasan menyejukkan, hingga akhirnya berujung pada tenggelamnya suatu kebahagiaan sederhana di hati masing - masing insan.
Sukacita yang terasa menjadi sukacinta yang melegakan.

Jejak langkah ganda yang tergores dalam lekukan - lekukan dongeng cinta ini tergurat jelas. Seperti ingin memantapkan tanda, bahwa perasaan ini bukan hanya main - main. Bukan sekedar candaan, tapi langkah kecil dalam menyambangi suatu keseriusan. Marka bagi para pemerhati dua pelaku peran kisah percintaan yang mencuri perhatian.

Cibiran sana - sini menjadi bab yang harus dilewati. Godaan kanan - kiri pun ambil bagian menyelip dalam lakon ini. Pertentangan dan ketidaksukaan banyak pihak juga tidak bisa lepas dari susunan narasi yang ada. Semua aral menjadi bagian yang suka tidak suka harus dijumpai, menetapkan senyum sebagai sapaan awal, memakai ketenangan dalam menghadapi segala agresifitas, dan menutup segala permasalahan dengan keyakinan dan satu baluran cinta yang memuaskan.
Tak perlu kesal, tak perlu sesal. Hadapi dan menangi saja apa yang ada.

Sudah terlanjur basah dua manusia ini. Sudah tercebur dan kepalang tanggung bila tak diselesaikan. Telah mulai dan kini tinggal jalani saja alur yang ada. Toh, perjalanan tak seperti jalan tol di luar negeri yang selalu halus dan merata. Ekspedisi cerita ini harus mengalami naik turun, agar semuanya tahu, bahwa tak ada yang mudah dalam mendapatkan satu keindahan. No Guts, No Glory. A'ight?

Kalian sudah saling mencinta. Kalian sudah merasakan beberapa manis yang ada. Kini di depan ada beberapa lubang yang tak bisa cuma kalian hindari. Hadapi dan lompati! Selesaikan dengan segala kepenuhan hati. Percaya diri sendiri, dan cintai hati yang telah bersama. Siapa yang tahu nantinya konklusi dari rintang yang ada di hadapan, bisa saja semakin menguatkan dan mendekatkan keyakinan kalian.
Jadi, Lawan dan menangkan!

Bila kalian sudah selesaikan persoalan, kabari aku ya!
Selamat berjuang :)