"Kopi, Sir?," tawar Alexis kepadaku.
2 Hari setelah kenyataan La Cognac's yang membawa aku pada kesadaran bahwa Cassandra masih hidup. Aku dan Alexis sering menghabiskan waktu bersama. Bukannya kami tak pernah menghabiskan kebersamaan kami sebelumnya. Tetapi persaingan dan perdebatan menentukan barang kuno apa yang sangat berharga untuk diperebutkan lebih sering terjadi dibanding saling bahu - membahu memecahkan suatu masalah. Seperti saat ini, tiba - tiba saja Alexis melemparkan satu "hadiah" mencengangkan, Cassandra. Yang barang tentu kini menjadi masalah besar bagi kesehatan hati dan kesadaran hidupku. Tapi untungnya dia tak hanya sekedar memberi aku masalah besar, melainkan juga ikut menceburkan diri untuk membantuku merampungkan segala masalah hingga sampai ke tepian persoalan. Thank for that.
Aku menggelengkan kepala menanggapi tawaran dari Alexis.
"Vamos, desayuno!," pinta Alexis kepadaku untuk memesan sarapan, "Tak perlu aku pesankan, kan?," timpalnya lagi.
"Aku tak lapar," tolakku.
Perut, kepala, dan hatiku sulit untuk diajak kerjasama belakangan ini. Isi surat kerinduan dari Cassandra yang 2 hari lalu aku baca menimbulkan kegerahan tersendiri bagi kehidupanku. Ditambah bayang - bayang tragedi Pedro Cabral masih saja menghantuiku. Setega itukah aku melepas Cassandra di tengah kepanikan yang terjadi saat itu ? tanya batinku menghakimi.
"Masih menyalahkan diri sendiri, huh?,".
"Not your business, Don. Habiskan saja sarapanmu!,".
"Jangan harap aku akan membantumu, bila kau tak mau mendengar ucapanku," Alexis berbicara sambil memotong egg baked breadnya "Take your breakfast ! Setelah itu aku akan memberitahumu bagaimana menulis takdirmu yang baru. Su nuevo destino," lanjutnya sambil kini memasukkan potongan roti isi telur sarapannya ke dalam mulut.
Aku terpojok mendengar hal itu. Dasar mafioso ! Tukang paksa ! kesalku dalam hati.
"Can I get, baked bread with cheese?," pesanku kepada seorang pelayan yang sedang melewati meja kami duduk yang dibalas dengan anggukan dan senyuman, "Thanks," lanjutku menutup pesananku, diiringi senyuman puas Alexis yang terlihat dari ekor mataku.
***
"Apa yang kau ketahui tentang takdir, Downey?," soal Alexis yang sekarang sedang menyetir Smith Coupe kesayangannya ini.
"Entahlah. Tidak bisa diduga? Kesempatan kedua?," jawabku dengan nada ragu yang mengikuti.
Alexis tertawa kecil mendengar jawabanku, "Sejak kapan kau menjawab sesuatu dengan nada tanya di belakangnya ? Apakah ini seorang Downey yang berani keluar - masuk makam Firaun hanya untuk mengambil gelang - gelang emas ? Atau apakah ini seorang Downey yang mati - matian mencari Maine Penny peninggalan Raja Olaf Kyree ? Bukannya kau orang yang paling jauh dari kata keraguan, Sir?," cecar Alexis yang terkesan seperti seorang detektif memojokkan tersangka pencurian benda - benda antik dunia.
Kalimat - kalimat Alexis seperti menohok kesadaranku. Beberapa pertanyaan yang dia lontarkan pun seakan mencoba untuk mengembalikan rohku kembali, yang sepertinya terbang hilang entah kemana.
Rasa bersalah yang keterlaluan membuat ketakutan yang amat sangat ketika mendapati Cassandra yang aku kira sudah hilang ditelan lautan, ternyata masih hidup dan kini menungguku untuk melepaskan segala kerinduan yang dia rasakan. Selemah itukah aku sekarang ?
"Menurutku, takdir itu kita tuliskan sendiri. Walau kehidupan ini tidak bisa ditebak, setidaknya kita bisa memainkan peran untuk mengatur segala kemungkinan jawaban di akhir cerita," tandas Alexis, "Seperti saat ini, siapa yang kira Cassandra ternyata selamat dari kemalangan Atlantic Ocean ? kamu kira dia sudah hilang dan meninggal bukan ? Tapi nyatanya, kenyataan membawanya kembali. Aku kira bukan suatu kebetulan kamu berada di York. Mungkin saja seseorang di atas langit sana sedang bermain, dan memberikan satu peran penting untuk perubahan kehidupanmu. Sekarang tinggal kamu saja yang ditugaskan untuk memilih satu langkah ke depan, agar jawaban dari akhir cerita ini sesuai dengan keinginanmu,".
Alexis tersenyum dan menepuk pundakku. Aku diam sambil mencoba mengartikan penjelasan panjang yang Alexis sampaikan. Kena ! untukku.
***
"Ya, kita sampai,"
Aku melemparkan pandangan dan mengenali daerah ini. 85th Street, dan dengan sedikit menengok aku bisa melihat papan bertuliskan St Clara di belakang sana.
"Mau apa kita disini ? Mau membawa aku ke kandang mafia lagi ?," curigaku kepada Alexis yang sudah siap untuk membuka pintu.
"Relax, Sir. Masuklah ke dalam Momma's Rest, dan pesan Lime Beef Carpaccio. Makan dengan santai dan tunggulah seseorang disana!," suruh Alexis kepadaku.
Aku menatap Restoran Italia di seberang jalan tempat mobil ini berhenti dengan penuh keheranan.
"Lalu kau ?,"
"Aku akan membakar cerutu disini, dan menatap cerita baru takdirmu yang akan kau tuliskan sendiri di dalam sana," jawab Alexis dengan enteng seperti biasa, "Dan duduklah di dekat kaca agar aku bisa memperhatikanmu dengan jelas," kini dia berkata dengan mengedipkan mata.
Pintu Smith Coupe sisi dimana aku duduk sudah kubuka. Aku melangkahkan kaki pelan - pelan ke arah Momma's Rest.
Tepat di depan pintu restoran aku menatap ke seberang kiri dan melihat beberapa gerombolan Belucci's yang sedang bercengkerama tak menyadari kehadiranku. Aku pun membuang pandangan ke belakang dan memperhatikan Alexis yang mengacungkan jempol sembari menghisap cerutunya.
Menuliskan takdir baru ? hatiku bertanya menanyakan maksud dari ini semua.
***
Lime Beef Carpaccio sudah ada di hadapku. Beef dish a la Italia yang menggoda selera. Untung saja aku bukan veggie, bersyukurlah aku jadi manusia omnivore.
Aku menikmati hidangan yang kupesan berdasarkan suruhan dari Alexis. Mencoba untuk melepaskan segala beban yang terus aku pikirkan agar dapat merasakan kenikmatan masakan nikmat yang jarang sekali aku dapati di tanah Britannia.
"Halo, Downey," sapa seorang tiba - tiba mengganggu santap siangku.
Aku dapati seorang wanita berdiri di samping mejaku. Pelan - pelan aku memainkan mataku menuju ke arah sumber suara. Black velvet gown tampak di mataku, aku menyusuri pelan - pelan sosok wanita ini dari tubuh hingga pandanganku jatuh ke wajahnya.
"Hello," aku balas dengan gugup tak percaya.
"Boleh aku duduk disini ?,".
"Pl... Ple... Please," balasku terbata - bata mempersilahkan.
Aku menilik sesaat ke luar jendela dan mencari sosok Alexis. Seorang pria Spanyol yang seharusnya sedang menghisap cerutu di luar sana sudah menghilang. Mobil berwarna coklat pun sudah tidak kudapati lagi di tempat seharusnya diparkir.
"Kita bertemu lagi ya, Sir," kata gadis di hadapku mengembalikan perhatianku padanya.
"Ya, suatu kebetulan... Cindy," balasku sekenanya.
"Mungkin takdir,"
Aku memberikan senyum terpaksa.
***
"Terima kasih Cassandra mau menemaniku berjalan - jalan," tutur Alexis di belakang kemudi sambil melengkungkan senyuman.
"My pleasure, Don," jawab Cassandra dengan nada lembut.
No comments:
Post a Comment