Warna coklat di setiap sisi ruangan, meja bulat yang tersusun rapi, dan bendera Italy ukuran kecil yang menggantung di tiang - tiang penyangga. Ya, Clairea.
Aku sudah berada di counter bar dengan Reims Marthen di hadapan, beserta wanita cantik di sampingku dengan red winenya. De Javu 2 hari lalu yang sengaja kembali diputar kembali.
"Tenang, Sir. Cognac itu murni seperti kesukaanmu. The pure marthen without sleeping pill," kata dia dengan mengedipkan mata.
Aku meminum alkohol favoritku ini dengan harapan, segala kebingungan yang menggelantung di pikiran ikut tertenggak dan semuanya segera terungkap.
"Jadi...," ucapku setelah menaruh sloki di atas counter bar, "Apa yang perlu aku tahu?," kini aku menatap wajah Cindy dalam - dalam.
Cindy balas menatap tanpa lupa menyertai lekukan senyuman khasnya. Cindy membuka tas kecilnya dan mengeluarkan selembar foto. Gambar seorang perempuan yang aku kenali.
Tapi bukan Cassandra.
***
Wanita itu cantik. Senyuman yang tercetak di parasnya pun terasa sangat teduh, kedewasaan seorang wanita, dengan sentuhan kasih sayang seorang ibu yang tergores di garis - garis muka.
"Ini foto Mrs. Janie, she's Cassandra's mom. So what?," tanyaku yang serta merta mengenali muka wanita di foto tersebut.
"Ya, kau benar, Sir. Ini ibunya Cassandra...,"
"And? The point?,"
"Dia...," kalimat Cindy tertahan. Dia menarik nafas sesaat, "Janie is my mom, too,".
Aku tersentak dan kontan Cindy tersenyum menanggapi kekagetanku.
Cindy dengan perlahan menjelaskan semua hal mengenai hubungannya dengan Cassandra. Mereka mempunyai hubungan saudara, karena dilahirkan oleh satu ibu. Tetapi Ayah Cassandra adalah seorang arkeolog pencinta Mesir yang senang sekali berpetualang, tidak heran sifat putrinya sama dengan ayahnya, pencinta sejarah, budaya, dan artefak beserta kawan - kawannnya. Tetapi karena Mrs. Janie tidak sanggup meladeni kefanatikan suaminya akan hobinya, mereka berpisah.
Di saat itu, Mrs Janie pergi ke York, bertemu dengan Don Belucci dan kembali menikah. Hingga lahirlah Cindy.
"Cassandra tidak pernah bercerita tentangku kepadamu, Sir," lanjut Cindy saat mengisahkan hubungannya dengan Cassandra. "Tetapi dia sangat mencintaimu, Sir. Itu yang selalu dia ucapkan di saat kami sedang bersama," lanjutnya lagi.
Otakku kembali dialiri dengan berbagai kenyataan yang terus menerus mengejutkan.
"Oh iya...," kembali lagi Cindy mengejutkanku dengan mengeluarkan 1000 grands dari dalam tas kecilnya. "Ini hutangku atas sepatu kaca yang kau menangkan kemarin. Asal kau tahu, sepatu kaca itu hanya alasanku untuk dapat mengajakmu kesini. Ke tempat dimana Cassandra bisa menatapmu dari jauh," Cindy mengarahkan telunjuk ke arah pintu bar.
"Kenapa harus dari jauh? Dan kenapa kau sampai harus menidurkanku?,"
"Lazzaro... Alexis Lazzaro,". jawabnya.
Alexis? tanyaku dalam hati dengan keheranan.
Cindy menangkap kebingunganku, dia menghela nafasnya dan mulai kembali menceritakan hal yang sontak mengagetkanku.
"Alexis mencintai Cassandra. Dia mengingininya dengan sangat. Dan satu hal yang dia mau, engkau harus merelakan Cassandra untuknya...,"
Cindy terus melanjutkan. Kalimat demi kalimat menjelaskan bahwa ternyata Alexis memang sengaja mengatur ini semua, agar aku merasa bersalah akan peristiwa Pedro Cabral. Selanjutnya dia akan menset pikiranku untuk merelakan Cassandra pergi, dan pada akhirnya dia akan mendekati tunanganku itu dengan mudah tanpa harus memperdulikan aku. That's sucks!.
"Apa benar itu semua?," aku memburu dengan sedikit kegeraman.
"Untuk apa aku berbicara bohong? Aku menidurkanmu pun agar Alexis fokus kepadamu dan sedikit mengendurkan perhatiannya dari Cassandra. He want her so bad. Aku terpaksa untuk merekayasa semua ini agar Alexis merasa rencananya berhasil,".
"Kau tahu darimana? Apa yang membuatku harus percaya kepadamu?," tanyaku dengan emosi yang tertahan.
"Sir!," tiba - tiba pundakku ditepuk dari belakang oleh seseorang.
***
"Romeo?," aku menoleh.
Cindy melirik Romeo dan kembali mengarahkan pandangannya ke arahku.
"Romeo adalah orang kepercayaanku di York. He's not Lazzaro's or Belucci's. Dia civil yang bisa aku andalkan untuk membantuku. Segala macam informasi aku dapatkan darinya. Dan tentu kau tahu sendiri, Alexis selalu menyuruh Romeo," Cindy menjelaskan
Romeo mengangguk pelan.
"Maafkan aku, Sir. Surat 2 hari lalu, yang aku berikan kepadamu di La Cognac's adalah surat palsu. Don Alexis yang menyuruhku,"
Surat yang aku sangka adalah sebuah ungkapan kerinduan Cassandra tersebut hanyalah sebuah tipuan. Untuk mempermainkan pikiran, perasaan, dan rasa bersalahku yang teramat dalam akan kesalahanku yang lalu.
Alexis merancang sebuah serangan psikis untuk membuat diriku melepaskan orang yang sangat aku cintai.
"Take this, and go! Di depan hotel ini para Belucci's sudah siap mengantarmu," ujar Cindy sambil menyerahkan foto Mrs. Janie kepadaku.
"Untuk apa ini?," tanyaku heran.
"Jangan ke La Cognac's!," Cindy menjawab dengan nada tegas sambil membalikkan foto Mrs. Janie. "Cassandra menunggu! Dan, bersiaplah untuk semua kenyataanmu," tutup Cindy sembari meninggalkanku di bar, pergi keluar diekori oleh Romeo.
Aku menarik foto ibunda Cindy dan Cassandra tersebut. Mendapati sebuah tulisan penuh informasi, yang sepertinya akan mendekatkanku, pada akhir garis kenyataan kisah memusingkan ini.
Aku menghela nafas dan meneguk Marthenku.
No comments:
Post a Comment