Pages

Friday, August 16, 2013

Tombol Pengingat

"Apa kita boleh mampir ke bar di hotel ini sebentar, Sir?," tanya Cindy kepadaku.

Little Italy. Entahlah aku tak terlalu suka tempat ini. Mungkin hanya karena penilaian personalku atau memang gosip dari sana - sini yang aku dengar mengenai kawasan yang dikuasai oleh beberapa mafioso Amerika - Italia ini. Aku tak terlalu khawatir dengan penjahat kelas kakap seperti itu, tapi entahlah aku malas saja bila dipertemukan dengan mereka. Biar mereka yang masih sekedar outsider dalam la famiglia, atau sudah menjadi Don penguasa keluarga.

"Your call, lady," ucapku, sambil membukakan pintu hotel St. Clara.

Sebelum aku masuk ke dalam hotel, suatu intuisi membuat aku menyempatkan diri untuk menengok ke arah plang nama jalan dan spontan melekukkan sedikit senyuman di wajahku. 85th street.

Clairea Bar. Bar yang cukup elegan. Dengan sentuhan warna coklat di segala sisi ruangan, dan beberapa meja bulat yang diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan kenyamanan para tamu - tamu bar, dan pastinya tidak lupa beberapa bendera kecil Italia yang menggantung di beberapa tiang penyangga bar ini. Aku dan Cindy memutuskan untuk bersantai di bar dibanding open table di meja bulat yang beberapa spot telah diisi para pria bersetelan jas lengkap dengan fedoranya.

*Tring... Tring Tring Tring* aku menekan bar bell, dan sejurus kemudian bartender berpenampilan rapih dengan vest hitam dan dipadupadankan dengan kemeja putih serta celana hitam menyambut kami.

"Reims Marthen," aku memesan salah satu cognac favoritku.
"Berikan aku Red Wine," pesan Cindy sembari tersenyum penuh arti kepada si pramusaji.

Aku terus memperhatikan tempat ini sembari menunggu pesanan minuman. Sudut mataku tertarik kepada beberapa pria berstelan yang aku rasa sedari awal aku dan Cindy masuk bar ini sudah memperhatikan. Dan satu pria bertuksedo hitam di ujung bar ini yang memandang Cindy penuh maksud.
Darn! Mafia Lair! sesahku dalam hati.

"Il tuo ordine, Sir," "Il tuo vino, Signora," tak lama pramusaji datang membawa order kami berdua yang serta merta melenyapkan pengamatanku kepada tempat ini.
 "Grazie," balas kami berdua hampir bersamaan.

"Cheers, Sir," terang Cindy ketika mendapati minumannya.
"Cheers,"

***

Rumah bercat putih ini tidak asing bagiku, dengan adanya pagar mini dilengkapi gapura kecil sebagai penanda jalan menuju pintu rumah, semakin membuatku mengingat - ingat sesuatu. Terasa jelas sekali dalam kilasan ingatan tapi masih samar - samar.
Aku masuk menapaki jalan menuju pintu utama rumah ini. Bukan untuk sekedar bertamu, tapi ingin menuntaskan rasa penasaran terhadap ingatanku yang ingin sekali terungkap tapi sedang dalam keadaan tersekap.

Pintu rumah putih ini kini di hadapku. Tidak ada bel di pinggir daun pintu ataupun alat pengetuk yang menggelantung. Aku memperhatikan pintu yang bercat sewarna dengan warna rumah ini. Ingatanku terus memaksa untuk keluar, tapi tertahan.

Ah! buat apa terus mencoba mengingat - ingat kesalku dalam hati karena rasa penasaranku tak juga segera terjawab dengan segala daya memori kepalaku.

Helaan nafas mengiringi ketukan kubu - kubu jariku di pintu. 4 ketukan dengan sedikit jeda setelah ketukan pertama. Aku menunggu pintu dibukakan. Ketukan kedua masih senada dengan ketukan sebelumnya, tapi kini aku iringi dengan ucapan salam "Permisi!,".

Tidak berapa lama aku dengar suara langkah kaki dari dalam rumah menyambut ke arah pintu, mendapati hal itu aku menyiapkan diri untuk melihat siapa yang ada di balik pintu. Sosok yang mungkin akan menyelesaikan permasalahan ingatanku yang sedari tadi memaksa untuk tersingkap.

"Wel... come," ujar seorang wanita berambut pirang, bermata cerlang, terbata ketika melihatku di depan pintu.
Aku mendapati wanita ini tepat di hadapku. Darah dalam otakku mengalir deras, ingatanku seakan terbuka dan membuat bibirku mengucap satu nama. "Cas... Cassandra?," kataku terperangah tak percaya
"Downey?," balasnya sambil menghambur memelukku.

Aku merasakan pelukannya erat. Aku memejam merasakan ingatanku kembali. Ini rumahku, dan ini tunanganku, Cassandra Lavinia.
Dia seorang wanita yang mendampingi kehidupanku dari aku merintis pencarian artefak - artefak Firaun, hingga Ekspedisi Laut di Portugis, bahkan perempuan ini yang menemaniku dalam kesukaran saat kapal yang membawa aku dan dia dihajar ombak besar dalam ekspedisi Pedro Cabral di Atlantic Ocean.
Dia yang... Dia yang hilang dalam pencarian ekspedisi ini. Cassandra hilang setelah kapal kami karam. Tunanganku yang terlepas dari genggamanku ketika kekalutan melanda seluruh kapal.

***

"Ya para arriba, Sir?," tanya seseorang yang suaranya aku kenal.
"Alexis?,"

Kepalaku terasa berat.

"Cassandra!," aku mengucapkan nama itu dengan segala ketegasan yang terdengar lemah dikarenakan pening di kepalaku.
"Sepertinya bel di bar itu menjadi tombol pemantik ingatanmu, huh?,"

Kepalaku masih sangat terasa pusing dan makin menjadi, akibat mimpi entah indah entah buruk.

"Siempre eres tonta, Downey. Your Lady memasukkan pil tidur dalam cognacmu!". tutur Alexis sambil memapahku berdiri.

Sekilas aku melihat plang nama jalan. 85th Street.

No comments:

Post a Comment