Tidak usah kau ingkari !
Kau acuh saja sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa kau ingin lari.
Malam ini terasa berbeda. Entah sebenarnya apa yang telah terjadi. Lukisan warna hitam yang berada di atas langit terlihat semakin pekat. Padahal biasanya selalu ada aksen warna biru tua yang mendampingi warna gelap, dihiasi kelipan cahaya perak, dan sebuah objek lingkaran berwarna emas muda yang indah menemani. Tetapi, aku tak tahu, malam ini tak berwarna. sama sekali tak ada ragam dalam kelam malam. MENGHILANG sekejap rasanya keindahan yang selalu mendampingi.
Latar yang tak pernah kuinginkan.
***
"Kalau malam - malam gini, aku yah yang jadi bintangnya," jari telunjukmu mengarah kepada bintang yang berkedip menggoda kita.
"Banyak banget dong. Gimana aku bedainnya ?"
"Gampang. Ini kan bukan perkara mana bintang yang aku tunjuk. Ini cuma masalah rasa. Rasakan saja satu bintang yang kamu lihat itu adalah bintang aku,"
"ehmmm," aku terlihat bingung
"Semua bintang itu bintang aku. Asal kamu yakin dan percaya sama perasaan kamu, perasaan kalau bintang yang sedang kamu lihat itu adalah aku,"
"tapi kan ?..."
"Udah, pokoknya yang penting di hati kamu ada aku," kamu menyelaku, dan langsung menjawab kebingunganku dengan satu kecupan di pipi. "Aku akan selalu jadi bintangmu, yang akan selalu terangi malam - malammu,"
Malam kenangan itu. Warna gelap dalam lukisan malam kehidupanku seakan terang. Ditaburi bintang yang berkedip, bercahaya, terang. Senyumku terasa hingga sampai kepada perasaan terdalam. Aku dapatkan bintangku.
Kenangku terkoyak. Iya, hari ini kau hadir di depanku kembali. Lekukan senyum tidak ada lagi. Bahkan sudah tak terbersit lagi dalam benak untuk memberikan hal itu.
Aku hanya tersenyum dalam hati. Terkadang, bintang - bintang menghilang. Entah bersembunyi, entah lari, entah memang benar - benar menghilang.
"Maaf, aku ngga bisa lanjutin hubungan kita," ucapmu tertunduk. Entah tak berani menatap mataku, ataupun menyembunyikan bekas tangisan di matamu.
"Tapi kita bisa kan perjuangin ini," aku masih mencoba untuk membela.
"Sudahlah. Udah ga bisa sayang ! Memang bukan takdir kita. Maafkan aku,"
"Tapi...," aku tak bisa melanjutkan gugatan bandingku ini.
"Ngga ada tapi. Aku minta maaf. Aku minta kamu terima ini sebagai permintaan maafku. Terima kasih buat semuanya," ucapmu lirih dengan memberikan liontin bintang dan kini meninggalkanku tak percaya.
Bintangmu kini telah ada di genggamanku. Aku masih bisa merasakan dirimu.
***
Setelah aku keluar dari gedung ini. Aku tersenyum getir. Aku melihat liontin yang terlingkar indah di leherku. Cahaya bintang di langit saat ini memang sedang tak ada. Bulan pun juga tak terlihat. Gelap. Tapi, setidaknya cahayamu akan selalu ada dalam diriku. Liontin ini yang akan selalu pancarkan cahayamu.
Aku melangkah pelan menuju ke pelataran parkir, sempat kembali ku menoleh ke arah gedung balai serbaguna ini. Aku melihat kau tersenyum dengan sang rembulan di sisimu. Aku harus bisa melepaskanmu. Kau telah dapatkan bulanmu yang akan dampingi hidupmu, bintangku.
Sebulir air menetes dari sepasang mataku.
Bintangku sudah menghilang. Tak tahu apa yang harus kuhadapi di depan. Tampaknya untuk saat ini pun aku akan terlihat menghilang tanpa ada cahaya yang bersinar. Tak apa, terkadang gelap tanpa cahaya akan memberikan pengharapan terang yang lebih besar selanjutnya.
Aku kembali melangkah. Berkata dalam hati dengan kekeluan.
"Selamat Menempuh Hidup Baru, Bintang. Tetap bercahaya."
Ini fiksi atau fakta? Kalau fiksi sedemikian mungkin kamu buat jangan dari pengalaman pribadi. Boleh dari pengalaman pribadi, tapi jangan curhat ya, karena terlihat sekali kalau curhat di dalam tulisan. Keep up the good work :) Coba kali lain pakai POV (point of view) orang ketiga biar lebih objektif.
ReplyDeleteNice! :)
ReplyDelete