Pages

Thursday, January 24, 2013

Gaun Merah

Jam 17 : 09
Sore ini aku mengingat sekelebat pesan yang pernah aku baca dari salah satu sahabat bayangku.
Seorang teman yang ada di pikirku, yang selalu menari untuk beri inspirasi dalam lekuk - lekuk garis otakku.
Sebut saja namanya Nila.

"Hai Bunda, apa kabar?

Bunda, aku sudah menjadi seorang yang berarti. Meraih cita masa kecilku, menjadi seorang penulis. Pencerita kata - kata yang berbaris menjadi kalimat penyusun cerita - cerita cinta. Iya, bun aku sudah berhasil menciptakan karyaku sendiri. Kalau kau bisa melihat, tengok rak buku tema romansa di toko - toko buku itu, berikan perhatianmu pada buku bersampul warna merah, dengan tulisan "Benang Merah" sebagai penjelas judul buku itu.

Bun, kamu pasti tersenyum bangga bila melihat buku itu. Cerita cinta seorang ibu yang rela memberikan apa saja demi keberhasilan anaknya. Rela berpeluh dan menyembunyikan bulir air mata untuk kesuksesan anak tercintanya.

Bunda gaun merahmu masih ada di lemari bajuku. Tertata rapi dan masih anggun.

Bun, ingatkah dirimu saat dahulu kau memainkan mesin jahitmu dengan benang merah yang terlampir. Kau dengan telaten membuat satu gaun indah untuk aku pakai di kelulusan SMA ku. Walau aku masih mencak - mencak untuk membeli, kau dengan sabar meladeniku dengan membuatkan gaun yang jauh lebih indah. Sederhana tapi penuh cinta.

Bunda. Terima kasih banyak. Dengan gaun sederhana itu semua perhatian tertuju padaku. Walau dahulu aku tak sempat ucap terima kasihku padamu, karena gengsi dan kesalku, tapi kau tetap memberi dengan senyum dan penuh kasih kau mengecup keningku.
Di acara itu, Aku bak seorang ratu, dan tahukah kau bun, pria tampan yang aku suka diam - diam itu mendekatiku loh bu, dan saat ini tahukah kau bun, dia sudah jadi kekasih hatiku. Hehehe Bun, anakmu udah dewasa loh bu, udah punya pacar loh.

Bun. Sekarang aku sudah bisa beli gaun lainnya untuk aku pakai. Tapi kenapa ya gaun itu kalah indah dengan buatanmu dulu, bun? Bun, kau designer terhebat di hidupku. Terima kasih ya bun.

Bun, aku sayang padamu. Pengorbananmu kepadaku sangat tak terbalas. Kau rela membanting tulang sebagai pejuang tangguh. Dengan rela dan tulus hati bekerja mengganti almarhum ayah untuk memberi kualitas terbaik untuk masa depan anakmu.
Bun, terima kasih. *air mataku menetes nih, menulis ini*

Bun. Aku ini berhasil menghasilkan satu buku. Tapi entah aku nulis surat ini kepadamu seakan tak bisa sempurna. Aku getir dan getar dalam menggoreskan kata - kata untukmu. Aku, aku, aku tak tahu harus berucap apa untuk menyenangkanmu.

Bunda, Nila kangen bunda. :'(

Bunda, tadi aku nyoba lagi gaun bikinanmu, kekecilan sih. Hehe, aku kan udah gede. Tapi aku tetap cantik dibalut gaun merah itu. Bunda, aku suka gaun buatanmu. Kalau bisa, aku mau engkau bikinin gaun lagi.

Oh yaudah bunda, suratku cukup segini dulu. Aku benar - benar kagum terhadap gaunmu dulu, dan aku juga kagum terhadap cinta besar yang tak akan pernah bisa terbalas olehku. Terima kasih bunda.

Bunda, semoga kau bangga dengan pencapaianku saat ini.
Terima kasih bunda, tetap tersenyum dan jagain aku dari surga ya.

Dengan cinta dari anakmu,
Nila"

Surat itu terlampir cantik di pikiranku. Mungkin saja bisa menjadi cerita yang dapat terbagi. Ketika seorang anak yang bisa berucap terima kasih atas jasa seorang ibu yang selalu kekal sepanjang masa, Abadi.

No comments:

Post a Comment